Ulasan Puisi di Tanjung Pinang Post, 24 Agustus 2014

Sabtu, 06 September 2014

Oleh : H. Abdul Kadir Ibrahim

Ulasan 1
Ketika Kalam Melarai
Entah lagi sedang apa—apakah bercakap-cakap, dalam seminar, rapat, duduk sendirian, di jalanan, dalam pesawat terbang, kapal laut, pelabuhan, terminal, mobil, bandara ataupun di mana dan kapan saja—puisi seketika boleh melarai dalam pikiran dan perasaan sehingga anggota tubuh bernama jari-tangan menulisnya, baik dengan pena di atas kertas ataupun di alat elektronik semacam komputer bibit (tentengan), telepon genggam ataupun komputer “duduk”. Sejatinya, ketika kalam muncul dan datang melarai dalam pikiran, perasaan dan perenungan, maka beberapa saat selepas itu wujudlah batang-tubuh puisi—yang paling asli ataupun awal. Selepas itu, pada lain waktu dan kesempatan membacanya lagi niscayalah ada perbaikan dan penyempuraannya.

Kalam melarai pikiran dan perasaan sehingga membuncah tak terbendungkan sampai ditulislah puisi, sebenarnya dapat diamati dan dipahami dari seluruh batang-tubuh setiap puisi. Sebagian besar puisi dapat dilaraikan adalah bersebab apa-apa yang berdekat dan diamati serta direnungkan oleh sang penulisnya (penyair). Karena itu lazim sekali kita dapat membaca puisi dengan berleret kata-kata tentang banyak benda, misalnya batu-batu pantai, karang, lautan, ikan, gelombang, sampan, nelayan dan sebagainya. Pegunungan, pepohonan, sawah, ladang, awan, langit, angin, dan sebagainya.
Rida K Liamsi—sebagai misal, seorang penyair Melayu-Nusantara yang telah mengemas puisi sampai begitu menyantak lubuk bacaan kita—untuk dapatnya kita membaca dan pahami apa yang sebenarnya kita maksudkan dalam seneraian di atas.
LAUT
Puisi: Rida K Liamsi
Seperti mereka sediakala akupun berdiri di tebingmu dengan sebatang tempuling
Tikam!
Maka kutikam jejak riakmu yang kutahu tak siapapun tahu di mana tubirmu
Sentak!
Maka kusentak tancap harapku yang kutahu tak siapapun tahu di mana palungmu
Seperti mereka sediakala aku pun tak pernah menyerah     pada keluasan pada kebiruan pada untung nasib yang hanyut dari teluk ke teluk yang terumbang ambing di pundak ombakmu
Seperti mereka sediakala akupun senantiasa
    Tikam!
    Sentak!
    Tikam!
    Sentak!
    Tikaaaaaammm!
    Sentaaaakkkk!

            !
                !
              !
    !

    Tempulingku
    Asinmu
    Hanya musim
    yang bermain

(1982/2000, Rose, 2013:31-32).
Betapa “cinta” telah sebagai mewangikan segala-gala batang-tubuh puisi Rida K Liamsi berjudul LAUT itu. Alangkah jelasnya puisi itu memberitahu kepada pembaca tentang apa-apa di alam dan kegaiban telah melaraikan kalam selengkapbatang-tubuh puisi. Cinta yang dapat ditangkap, dipahamidan dimaknai dalam puisi dimaksud adalah cinta kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang MahaKuasa, Allah SWT. Laut dan apa-apa menyertainya dalam puisi itu tampil sebagai misal dan perlambangan.
Di dalam batang-tubuh puisi paling luas dan mendalam dapat diwujudkan adalah cinta. Agaknya tak ada suatu karya pun yang sepantas puisi di dalam mengandung atau pun menyimpan apa yang dinamakan cinta. Meskipun kata-kata dan kalimat yang dipakai begitu singkat, sedikit dan tidak meluas sebagaimana karya yang lain, tetapi cinta seakan-akan sempurna dan wujud. Maka tak usah heran pada masa lampau—mungkin juga masa kini—seorang lelaki untuk mengutarakanmaksud di hatinya dengan seorang perempuan—yang tak kuasa diungkapkannya dengan kata-kata sebagaimana percakapan biasa—melalui untaian atau laraian puisi. Rasa rinduku padamu/ adalah ragi/ rapuhkan ranting ragaku/ adalah racun/ lecuhkan urat rabuku/ adalah rayap/ runtuhkan ruang rahasiaku// … (Rida K Liamsi, Ros II, ROS, 2013:26).
Cinta telah “merajai”—mungkin—seluruh puisi?! Dan mengapa begitu? Karena cinta menjadikan sesuatu, segala atau apapun sebutannya menjadi bermakna, berarti, jadi kerinduan, tumpuan, harapan ataupun impian untuk dituju dan diraih. Cinta menjadikan segala sesuatunya berubah. Yang liar menjadi jinak, yang garang menjadi santun, yang jauh menjadi dekat, yang tiada menjadi rindu, yang dekat menjadi sayang dan sebagainya. Cinta menjadikan puisi punya ruh dan senantiasa hidup melebihi kehidupan yang lainnya di alam fanaini.


Puisi yang Bercinta
Sejalinan dan setautan dengan seneraian dan puisi di atas, niscayalah banyak puisi dari banyak penyair. Namun dalam kala mulsan puisi kali ini, khusus kita bendangkan puisi Hastami Cintya Luthfi: “Pada Alas Ketonggo”, “Lusa”, Pada Monumen Suryo” dan “Penjaja Kenangan”  (Tanjungpinang Pos, Ahad, 13 Juli 2014). Gustu Sasih: “Requiem Pagi”, “Fragmen Tanpetemahisme”, “Bukan Requiem” dan “Bukan Requiem 2” (Tanjungpinang Pos, Ahad, 20 Juli 2014). Ajeng Kurniatillah: “Palestina”, “Rangkaian Kosa Kata” dan “Gerimis dan I miss” (Tanjungpinang Pos, 3 Agustus 2014). Pada esensialnya menjadi teranglah sebagai mewujudkan puisi-puisi yang bercinta.
Puisi Hastami Cintya Luthfi “Pada Alas Ketonggo” mengisyaratkan kepada pembaca tentang sebenarnya juga cinta. Hanya saja cinta dalam puisi itu lebih menjurus kepada kegaiban dan kegaibann yaitu, tidak kepada Yang Maha Agung, melainkan ruh dan jejamuan atau sesajian yang berujung pada kemusyrikan. (bersambung)





0 komentar:

Don't forget to leave comment :)