Malang Post, 8 Juni 2014 (CERPEN)

Rabu, 06 Agustus 2014

Selamat membaca, selamat mengkritik..


[Cerpen]

            *HUJAN KOPI*



            “Kemana dia?”
            “Ada dikamar, Pak. Sedang tidur”
            “Sudah berapa lama?”
            “Empat hari, Pak”
                                                         ***

--Tegukan Pertama
            “Yah, minuman apa itu?”
            “Ini namanya kopi, Nak. Dia adalah minuman yang menghidupimu. Memberimu ruang untuk berkhayal, berimajinasi atau menciptakan alur cerita baru di alam bawah sadarmu”
            “Alam bawah sadar?”
            “Ya, alam yang bergerak dengan sendirinya, tanpa diatur oleh indera yang lain. Kau akan menyadarinya ketika sudah dewasa. Ini bukan minuman biasa. Ayah mengembangkannya sudah 17 tahun. Dari remaja hingga sekarang ini. Minuman ini bisa membelikanmu apa saja. Mainan, baju dan juga napasmu”
            “Kenapa dia jelek sekali? Berwarna hitam. Tidak secantik orange jus, minuman bersoda, dan sirup warna warni. Bahkan ia pahit setelah ku coba”
            “Ada rahasia didalamnya. Kopi adalah kehidupan. Semakin kau mencoba. Semakin kau temukan sisi manisnya. Kau harus berani menganalisa. Hati – hati, bisa saja kau terjebak dengan arti yang kau simpulkan sendiri”

--Tegukan Kelima
            Enak

            Semakin enak.

            Dan bahkan sangat enak. Aku mulai mengenalnya.


--Cangkir Ke Lima Puluh Dua
            Perpaduan pelbagai kopi yang aku sesap. Mocha si kopi dengan lelehan cokelat, Capuccino Latte dengan krim lezat, si mahal Jamaican Blue Mountain coffee, Macchiato Hazelnut dan White Coffee dari sisa pencernaan luwak. Mulai kutinggalkan si kopi hitam. Aku terlalu takut untuk menghitam kemudian kelam. Ternyata sudah sejauh ini aku menikmatinya. Ia temanku. Temanku meremaja. Yang selalu ada untuk memenuhi ruang tenggorokanku. Rasanya segar.

 Semakin kental, semakin membuatku melupakan keributan rumah. Entah apa itu pembagian harta gono – gini. Perebutan lahan, kemudian aksi saling tampar sudah terlalu sering memenuhi gendang telinga. Suasana memanas tiap harinya. Saling pinta hak asuh. Hey, aku sudah bukan nak – kanak lagi. Sedikit dengarkan aku. Aku suka sendirian, tapi tak suka kesepian.

--Gelas Ke Seratus Tujuh Puluh Lima
            Aku mulai beralih. Dari cangkir ke gelas untuk lebih menikmatinya. Meracik bahan sendiri. Mudah sekali aku mendapatkan bahannya. Karena Ayahku adalah pemilik kebun kopi yang luasnya berhektar – hektar. Bisa dibayangkan kekayaannya? Hah! tapi sama saja jika ia sendiri tak paham makna kopi yang sebenarnya. Ia bilang pecinta kopi harus berani. Tapi apa yang ia buktikan? Berani berselingkuh? Berani mengkoleksi wanita – wanita yang berganti tiap harinya? Haha. Kebodohan oleh kekayaan.

            Aku semakin gila oleh imajinasi yang ku hadirkan sendiri. Meminta hujan kopi. Pasti lebih segar dari apapun. Begitu pula aroma tanah yang tidak lagi klise akibat hujan biasa. Ah, bisakah? Tentu bisa. Ayahku kan kaya. Jangan iri! Selama ini aku jarang meminta hal besar seperti mobil, rumah, ataupun handphone merek terkenal. Memang semuanya sudah tersedia tanpa aku harus meminta. Nah, apa yang belum ku dapat? Perhatian. Ah sudahlah, lupakan masalah itu. Aku hanya ingin hujan kopi! Meski tak dari alam, tapi masih ada buatan kan?

--Hujan Kopi
            Akhirnya jadi juga sesuai permintaanku. Aku tak tahu keberadaan Ayah, sehingga aku hanya perlu menelepon Ayah untuk membuatkan hujan buatan, lalu ia segera memberikan perintah kepada bawahannya. Ayah paham bahwa aku adalah anak yang gila kopi. Ah, itu akibat dari pengenalan kopi padaku sejak kecil. Aku rasa Ayah sudah sangat bangga karena ia bisa memenuhi keinginan anaknya secara materi. Terbukti ia selalu berkata “Hanya itu permintaanmu?” setiap kali aku meminta hal yang menurutnya kecil dan sederhana.

            Kembali ke masalah hujan kopi. Tempatnya sudah jadi tiga bulan semenjak permintaanku. Terbuat dari kaca setengah lingkaran. Mirip dengan bentuk penangkaran tanaman yang sering aku lihat di film – film luar negeri. Di desain semenarik mungkin. Knock pintunya bisa diputar dengan mudah, dibeberapa sisi atas sudah dipasangi beberapa ventilasi untuk bernafas. Sudah ada mesin pengatur yang terdapat di sisi kanan ruangan. Bentuknya kotak sekitar 4 meter. Di dalamnya terdapat kopi yang dimasak pada suhu tertentu. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Hangat. Dari atas sudah dipasangi selang yang mirip shower untuk menyiramkan hujan kopi. Bagian lantainya juga sudah ada jalur – jalur resapan. Tak cukup itu, di beberapa tempat di pasang shelter – shelter untuk berteduh, sehingga cukup mengacungkan cangkir didepan shelter maka dengan sendirinya ia terisi oleh rintik – rintik kopi. Ah, beginilah surga bagi pecinta kopi.

            Hanya tinggal memencet tombol berwarna hijau maka hujan akan tiba.

            Aku seringkali terduduk disini sambil membiarkan hidungku menciumi aroma legit sang kopi. Aku juga suka membawa makanan kecil dari dapur, agar lambungku tak melulu mencerna soal kopi. Tapi karena semua ini, aku jadi enggan menyentuh nasi yang sudah menjadi makanan pokok sehari – hari. Rasanya, setiap hari perutku sudah kenyang dengan mudahnya usai mencecap kopi, darah berdesir – desir, jantung berdetak kencang. Ditambah lagi usai melihat “dia” yang muncul di depan gerbang rumahku.

            Namanya Ariyanti. Rambutnya keriting alami, namun justru itulah yang membuatnya terlihat anggun dan cantik, seperti puteri – puteri zaman dulu. Ia teman kampusku di jurusan Komunikasi. Meski begitu, aku belum pernah sekalipun berani mengajaknya berbicara selama di kelas. Ternyata perasaan yang aneh ini bisa menyulitkan seseorang untuk berkomunikasi, hal yang tak kutemukan di pelajaran. Setidaknya, ia berani mengawali dengan mendatangi rumahku. Mungkin dia penasaran denganku karena kulihat dia datang ke rumahku dengan membawa sekeranjang buah – buahan. Apa dia mau menyapaku lebih dulu? gumamku heran. Yang pasti, aku harus mengajaknya berbicara kali ini diruang hujan kopi, tekadku.

            “Hai” sapaku kaku, seusai keluar dari ruang tempat hujan kopi. Dia terlihat terkejut, namun dia tetap membalas sapaanku “Hai juga”. Aku begitu gugup, terlebih ketika aku menyaksikan lesung pipitnya begitu manis melekat dipipinya. “Dari rumah, ya? Mau kutunjukan suatu tempat? tanyaku kebingungan mencari lanjutan percakapan. Ia terlihat celingukan mencari sesuatu, namun aku tak mempedulikannya. Aku mencoba menggandeng tangannya dan membawanya ke ruang hujan kopi. Ariyanti tampak kebingungan namun ia tetap mengekor dibelakangku.
Kami terdiam cukup lama ditengah rintik kopi yang baru saja aku nyalakan. “Hujan kopi, aku baru menyaksikan kali ini. Baunya unik” pernyataan Ariyanti yang tiba – tiba memecah pola suara gerimis. “Kamu suka?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. “Aku baru tau kalau ini rumahmu. Cukup mengejutkan”
 “Maksudmu?” aku heran, ku kira dia disini mau menemuiku. Ia hanya diam saja sambil meremas tangannya. “Kamu insomnia?” cecar Ariyanti mengalihkan pertanyaanku. “Ya, begitulah. Aku jarang tidur sampai beberapa hari”

            “Kurangi kebiasaan minum kopi, aku tahu ayahmu mempunyai banyak stok kopi yang bisa kamu nikmati, tapi ini tidak baik untuk kesehatanmu” Ariyanti lalu beranjak dari tempat duduknya di shelter. “Tolong matikan hujannya” tambahnya lagi. “Mau kemana?” tanyaku sambil mematikan hujannya dengan tombol merah.

            Ariyanti hanya tersenyum. Kemudian ia berlari – lari kecil mendekati pintu ruangan. Dan ia membalas lambaian tangan seseorang yang menanti diluar. Ayah.

            Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ayah dan Ariyanti berpelukan. Ayah juga mengecup pipi Ariyanti dengan bibir kehitamannya. Mereka berdua pergi begitu saja dengan acuh. Aku hampir tak percaya jika Ariyanti salah satu “wanita” Ayah.

            Lengkap sekali sekarang, perutku rasanya mual, lidahku terasa pahit karena ada cairan kuning yang memaksa keluar. Seandainya aku bisa mendelete adegan barusan. Seandainya aku tidak mengidap insomnia. Argh! Biarkan aku tidur berhari – hari, kopi!

                                                                                                            ***
Oleh :
Hastami Cintya Luthfi




0 komentar:

Don't forget to leave comment :)