Selamat membaca, selamat mengkritik..
[Cerpen]
*HUJAN KOPI*
“Kemana dia?”
“Ada dikamar, Pak. Sedang tidur”
“Sudah berapa lama?”
“Empat hari, Pak”
***
--Tegukan Pertama
“Yah, minuman apa itu?”
“Ini namanya kopi, Nak. Dia adalah minuman yang menghidupimu. Memberimu
ruang untuk berkhayal, berimajinasi atau menciptakan alur cerita baru
di alam bawah sadarmu”
“Alam bawah sadar?”
“Ya, alam yang bergerak dengan sendirinya, tanpa diatur oleh indera
yang lain. Kau akan menyadarinya ketika sudah dewasa. Ini bukan minuman
biasa. Ayah mengembangkannya sudah 17 tahun. Dari remaja hingga sekarang
ini. Minuman ini bisa membelikanmu apa saja. Mainan, baju dan juga
napasmu”
“Kenapa dia jelek sekali? Berwarna hitam.
Tidak secantik orange jus, minuman bersoda, dan sirup warna warni.
Bahkan ia pahit setelah ku coba”
“Ada rahasia
didalamnya. Kopi adalah kehidupan. Semakin kau mencoba. Semakin kau
temukan sisi manisnya. Kau harus berani menganalisa. Hati – hati, bisa
saja kau terjebak dengan arti yang kau simpulkan sendiri”
--Tegukan Kelima
Enak
Semakin enak.
Dan bahkan sangat enak. Aku mulai mengenalnya.
--Cangkir Ke Lima Puluh Dua
Perpaduan
pelbagai kopi yang aku sesap. Mocha si kopi dengan lelehan cokelat,
Capuccino Latte dengan krim lezat, si mahal Jamaican Blue Mountain
coffee, Macchiato Hazelnut dan White Coffee dari sisa pencernaan luwak.
Mulai kutinggalkan si kopi hitam. Aku terlalu takut untuk menghitam
kemudian kelam. Ternyata sudah sejauh ini aku menikmatinya. Ia temanku.
Temanku meremaja. Yang selalu ada untuk memenuhi ruang tenggorokanku.
Rasanya segar.
Semakin kental, semakin membuatku
melupakan keributan rumah. Entah apa itu pembagian harta gono – gini.
Perebutan lahan, kemudian aksi saling tampar sudah terlalu sering
memenuhi gendang telinga. Suasana memanas tiap harinya. Saling pinta hak
asuh. Hey, aku sudah bukan nak – kanak lagi. Sedikit dengarkan aku. Aku
suka sendirian, tapi tak suka kesepian.
--Gelas Ke Seratus Tujuh Puluh Lima
Aku mulai beralih. Dari cangkir ke gelas untuk lebih menikmatinya.
Meracik bahan sendiri. Mudah sekali aku mendapatkan bahannya. Karena
Ayahku adalah pemilik kebun kopi yang luasnya berhektar – hektar. Bisa
dibayangkan kekayaannya? Hah! tapi sama saja jika ia sendiri tak paham
makna kopi yang sebenarnya. Ia bilang pecinta kopi harus berani. Tapi
apa yang ia buktikan? Berani berselingkuh? Berani mengkoleksi wanita –
wanita yang berganti tiap harinya? Haha. Kebodohan oleh kekayaan.
Aku semakin gila oleh imajinasi yang ku hadirkan sendiri. Meminta hujan
kopi. Pasti lebih segar dari apapun. Begitu pula aroma tanah yang tidak
lagi klise akibat hujan biasa. Ah, bisakah? Tentu bisa. Ayahku kan
kaya. Jangan iri! Selama ini aku jarang meminta hal besar seperti mobil,
rumah, ataupun handphone merek terkenal. Memang semuanya sudah tersedia
tanpa aku harus meminta. Nah, apa yang belum ku dapat? Perhatian. Ah
sudahlah, lupakan masalah itu. Aku hanya ingin hujan kopi! Meski tak
dari alam, tapi masih ada buatan kan?
--Hujan Kopi
Akhirnya jadi juga sesuai permintaanku. Aku tak tahu keberadaan Ayah,
sehingga aku hanya perlu menelepon Ayah untuk membuatkan hujan buatan,
lalu ia segera memberikan perintah kepada bawahannya. Ayah paham bahwa
aku adalah anak yang gila kopi. Ah, itu akibat dari pengenalan kopi
padaku sejak kecil. Aku rasa Ayah sudah sangat bangga karena ia bisa
memenuhi keinginan anaknya secara materi. Terbukti ia selalu berkata
“Hanya itu permintaanmu?” setiap kali aku meminta hal yang menurutnya
kecil dan sederhana.
Kembali ke masalah hujan
kopi. Tempatnya sudah jadi tiga bulan semenjak permintaanku. Terbuat
dari kaca setengah lingkaran. Mirip dengan bentuk penangkaran tanaman
yang sering aku lihat di film – film luar negeri. Di desain semenarik
mungkin. Knock pintunya bisa diputar dengan mudah, dibeberapa
sisi atas sudah dipasangi beberapa ventilasi untuk bernafas. Sudah ada
mesin pengatur yang terdapat di sisi kanan ruangan. Bentuknya kotak
sekitar 4 meter. Di dalamnya terdapat kopi yang dimasak pada suhu
tertentu. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Hangat. Dari
atas sudah dipasangi selang yang mirip shower untuk menyiramkan hujan
kopi. Bagian lantainya juga sudah ada jalur – jalur resapan. Tak cukup
itu, di beberapa tempat di pasang shelter – shelter untuk berteduh,
sehingga cukup mengacungkan cangkir didepan shelter maka dengan
sendirinya ia terisi oleh rintik – rintik kopi. Ah, beginilah surga bagi
pecinta kopi.
Hanya tinggal memencet tombol berwarna hijau maka hujan akan tiba.
Aku seringkali terduduk disini sambil membiarkan hidungku menciumi
aroma legit sang kopi. Aku juga suka membawa makanan kecil dari dapur,
agar lambungku tak melulu mencerna soal kopi. Tapi karena semua ini, aku
jadi enggan menyentuh nasi yang sudah menjadi makanan pokok sehari –
hari. Rasanya, setiap hari perutku sudah kenyang dengan mudahnya usai
mencecap kopi, darah berdesir – desir, jantung berdetak kencang.
Ditambah lagi usai melihat “dia” yang muncul di depan gerbang rumahku.
Namanya Ariyanti. Rambutnya keriting alami, namun justru itulah yang
membuatnya terlihat anggun dan cantik, seperti puteri – puteri zaman
dulu. Ia teman kampusku di jurusan Komunikasi. Meski begitu, aku belum
pernah sekalipun berani mengajaknya berbicara selama di kelas. Ternyata
perasaan yang aneh ini bisa menyulitkan seseorang untuk berkomunikasi,
hal yang tak kutemukan di pelajaran. Setidaknya, ia berani mengawali
dengan mendatangi rumahku. Mungkin dia penasaran denganku karena kulihat
dia datang ke rumahku dengan membawa sekeranjang buah – buahan. Apa dia
mau menyapaku lebih dulu? gumamku heran. Yang pasti, aku harus
mengajaknya berbicara kali ini diruang hujan kopi, tekadku.
“Hai” sapaku kaku, seusai keluar dari ruang tempat hujan kopi. Dia
terlihat terkejut, namun dia tetap membalas sapaanku “Hai juga”. Aku
begitu gugup, terlebih ketika aku menyaksikan lesung pipitnya begitu
manis melekat dipipinya. “Dari rumah, ya? Mau kutunjukan suatu tempat?
tanyaku kebingungan mencari lanjutan percakapan. Ia terlihat celingukan
mencari sesuatu, namun aku tak mempedulikannya. Aku mencoba menggandeng
tangannya dan membawanya ke ruang hujan kopi. Ariyanti tampak
kebingungan namun ia tetap mengekor dibelakangku.
Kami terdiam
cukup lama ditengah rintik kopi yang baru saja aku nyalakan. “Hujan
kopi, aku baru menyaksikan kali ini. Baunya unik” pernyataan Ariyanti
yang tiba – tiba memecah pola suara gerimis. “Kamu suka?” tanyaku. Ia
hanya mengangguk. “Aku baru tau kalau ini rumahmu. Cukup mengejutkan”
“Maksudmu?”
aku heran, ku kira dia disini mau menemuiku. Ia hanya diam saja sambil
meremas tangannya. “Kamu insomnia?” cecar Ariyanti mengalihkan
pertanyaanku. “Ya, begitulah. Aku jarang tidur sampai beberapa hari”
“Kurangi kebiasaan minum kopi, aku tahu ayahmu mempunyai banyak stok
kopi yang bisa kamu nikmati, tapi ini tidak baik untuk kesehatanmu”
Ariyanti lalu beranjak dari tempat duduknya di shelter. “Tolong matikan
hujannya” tambahnya lagi. “Mau kemana?” tanyaku sambil mematikan
hujannya dengan tombol merah.
Ariyanti hanya
tersenyum. Kemudian ia berlari – lari kecil mendekati pintu ruangan. Dan
ia membalas lambaian tangan seseorang yang menanti diluar. Ayah.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ayah dan Ariyanti berpelukan.
Ayah juga mengecup pipi Ariyanti dengan bibir kehitamannya. Mereka
berdua pergi begitu saja dengan acuh. Aku hampir tak percaya jika
Ariyanti salah satu “wanita” Ayah.
Lengkap
sekali sekarang, perutku rasanya mual, lidahku terasa pahit karena ada
cairan kuning yang memaksa keluar. Seandainya aku bisa mendelete adegan barusan. Seandainya aku tidak mengidap insomnia. Argh! Biarkan aku tidur berhari – hari, kopi!
***
Oleh :
Hastami Cintya Luthfi

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Don't forget to leave comment :)
0 komentar:
Posting Komentar