Ulasan Puisi di Tanjungpinang Pos, 06 Juli 2014

Rabu, 06 Agustus 2014

di Tanjungpinang Pos, terkadang terdapat pengulasan puisi - puisi penyair yang di muat  disana. Kali ini puisi saya dan 2 penyair lainnya di ulas disini :)


KETIKA PUISI MENYAPA SEMESTA

Oleh: H. Abdul Kadir Ibrahim

Kalam Buka

Puisi sejatinya bersebati dengan budaya dan bangsa sang penyairnya. Adalah perjalanan suatu bangsa, perubahan masyarakat, tampilan pemerintahan, hiruk-pikuk politik dan sosial kemasyarakatan dapat melecut ide dan gagasan lahirnya puisi. Dalam kaitan ini munculnya seorang tokoh di tengah masyarakat suatu bangsa ataupun negara dapat saja menjadi daya pikat sehingga jadi jalinan kata bagi batang tubuh puisi yang memukau.
Nama-nama yang amat berarti bagi suat bangsa, misalnya di Indonesia, dapat saja menjadi jalinan kalam puisi. Kalau ditarik ke kawasan bekas Kerajaan Melayu Raya: Riau-Johor-Pahang dan Lingga dengan Sultannya Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) yang benar-sejati sebagai tokoh pahlawan Perang Grilya Bahari (Laut) yang pada akhirnya menundukkan Belanda dan Inggris! Atau nama Diponegoro, dan nama yang tidak terlalu jauh dengan kita dewasa ini adalah Bung Karno.

Pada intinya nama tenar dan bermakna semacam itu dapat menjadi jalar, ragaian dan jalinan kata puisi karena ianya begitu melekat dengan kebesaran bangsa (negara). Apa-apa yang menyertai dan mengitari perjuangannya untuk bangsa dan dirinya sendiri menjadi sembulan kata-kata sehingga membungbunglah leretan puisi yang membumi.

Dengan demikian menjadi masuk akal dan beralasan bila ada di antara nama-nama tokoh atau nama yang begitu dikenal khususnya dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia pada akhirnya mendapat tempat dalam kreativitas penyair. Bahwa nama sang tokoh menjadi puisi, yang bukan karena hendak mendapatkan sesuatu dari sang nama itu, melainkan semata-mata sebagai murni karya seni puisi.

Dari penjelasan di atas dapat dipahamkan ternyata luahan ataupuan saukan puisi begitu luas, dan alangkah wujudnya sebagai menyapa semesta.Bahwa apa-apa yang berlaku di alam dunia ini, menyangkut manusia dan kehidupannya ataupun perkara-perkara alam ghaib sekalipun, termasuk tentang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dapat dengan seterangnya menjadi timbunan-timbunan puisi.Maka ketika puisi menyapa semesta niscayalah keindahan sejati yang menjadi makna hidup dan kehidupan yang hakiki.Bila demikian niscayalah kebencian dan laku-fitnah takkan pernah dikempitkan di diri.Sebaliknya keindahan dan kedamaian yang maha luas senantiasa direnjnis bagaikan air penawar dan setia ditebar-tebarkan.

Kaitan puisi dengan alam semesta, lingkungan sekitar demikian wujud dalam puisi-puisi yang dimuat Tanjungpinang Pos terbitan Juni 2014.Penyairnya adalah Kinanti (Kinanthi Anggraini), Hastami Cintya Luthfi, dan Hidayat Jasn.Puisi-puisi mereka memberikan alam dan terasa menjadi begitu dekat, akrab dan tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan sesiapa pun insannya. Puisi sebagai menarah ketololan dan kebebalan perilaku yang tak ambil berat terhadap alam lingkungan sekitarnya.
Selari penjelasan di atas, peristiwa bersejarah, penuh makna, kebanggaan dan kenanangan, yang kita kenal sebagai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, dapat dikatakan sebagai peristiwa alam lingkungan sekitar, yang niscayalah menjadi tak kalah unik dan menarik dituangkan dalam untaian puisi.

Secara lebih khusus lagi berbabit dengan nama atau tokoh yang hendak menjadi presiden dan wakil presiden. Kehadiran nama tokoh dimaksud di tengah masyarakat tentu bukan sebagai kebetulan dan sekedarnya, melainkan atas kehendak dan tuntutan rakyat secara meluas. Maka tak usah heran bila nama dimaksud pun menjadi begitu fenomenal dan dielu-elukan masyarakat, yang dalam hal ini yang terdekat dengan zaman kita hari ini antara lain Jokowi (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kala).


JOKOWI    
negeri pertiwi
membaja besi
sama sekali
tak sekedar unjuk gigi
bangun dan jadi
dari duka yang umbi
perjuangan sekarut urat nadi
beriburibu pahlawan terbunuh mati
satu di antaranya
sultan mahmud ri’ayat syah
pahlawan grilyawan bahari sejati
laut sehamparan
seakan setalam penuh genggaman
berani berpantang mati
menggenap mimpi
belanda dan inggris pun
rontok kuasa dan taji
seperti ayam betina
seusai terberak asap berdaki
awan
dan tanah air indonesia
menjelma pucuknya segar tinggi
putra fajar soekrno
lidahkan langit
merdeka indonesia niscayai
di muka bersembi
harihari menempa bakti
bung karno:
dari penjara ke penjara
merdeka citacita capaian abadi
sampai tiba inti
deklarasikan seuntai kalam
pancasila nama diberi
proklamasi indonesia penuhi
ruang angkasa tinggi
indonesia merdeka
senyata pasti
berdaulat
ada marwah harga diri
dan sampai
presiden silih-ganti
selepas megawati seokarnoputri
ada lagi
daninimenjadijadi
menggelora dalam rakyat
sehati sanubari
sempurna cahaya mentari
joko widodo-jokowi
indonesia berjatidiri
mental direvolusi
menyergam akhlaq terpuji
bertangkub baja-besi
bernyali terus meninggi
gigi berseri dan bernyanyi
berarti di antara negerinegeri
sekotah alam-bumi
indonesia meredeka
terpuji
diri setia
sampai mati
!

Persebatian Ucap Memesona
Puisi-puisi (Tanjungpinang Pos, 8 Juni 2014),  dua puisi, “Cemara Putih”, dan “Kembar Mayang Dewadaru” karya Khinanti Anggraini. Dalam puisi “Cemara Putih”, betapa Khinanti menampilkan alam lingkungan selitar dengan kata yang indah, metafora yang tepat dan suasana yang mengena.Puitika puisi inipun terpapar elok, dan mengesankan. // mentari terbit di hati/ bersama urat cahaya yang tak mengenal ujung/ bumi/ untuk kau yang tak lekas keluar dari ingatan/ untuk mekar dalam kuncup senyum yang/ kurindukan/ walau telah kuparut seluruh isi kepala/ terhempas gerimis nestapa dan badai marina/ sedangkan mataku tinggal separuh/ mencoba memulas jejak yang mulai luruh// (Cemara Puti).
Dalam puisi “Kembar Mayang Dewadaru”, Khinanti Anggraini berujar: pengantar kayu dewadaru dan/ daun kencana/ bersama janur kuning, bunga/ padi dan kelapa/ dua rangkaian yang berjumlah/ sepasang/ yang dinamai rangkaian kembar/ mayang// 

Bahwa Khinanti mempertegas keberadaan dan kekuatan alam lingkungan sekitar menjadi ramuan pokok dari puisi. Perkara menarik dan indah adalah puisi dengan kata-kata perpaduan identitas alam lingkungan dengan metafora puisi.Puitika dalam puisi inipun demikian nyata, membuat sentakan dan pesona.
Selanjutnya Tanjungpinang Pos, 15 Juni 2014, ada puisi hanya dengan nama “Kinanti”. Apakah sama orangnya dengan “Kinanthi Anggraini”? Agaknya sama. Ada lima puisi, “Midodareni”, “Kidung Tersembunyi”, “Dendang Sepotong Bulan”, “Terbang” dan “Mimpi Pertama”. 

Puisi-puisi selari dengan puisi di atas begitu dekat dan mengakrabi alam lingkungan sekitar. Kinanthi telah betapa pula memperhatikan persajakan-persajakan sedemikian serasi untuk seluruh puisinya.Kenyataan demikian menjadikan puisinya bersahut bunyi dan irama dalam desakan rindu menggebu sekalian menggelora. “Dendang Sepotong Bulan”: melingkari tembang langit yang membiru/ menjadi cuaca yang pecah menjadi dua/ sumbu/ saat purnama mengkristal, membuka/ senyummu/ dan gerhana permata menghujani bumi/ dengan/ mutiara-mutiara di matamu//

Hidayat Jasn dengan puisinya “Lukisan Kaligrafi”, “Menebang Tebu”, “Di Tengah Ladang”, dan “Pendongeng” yang dimuat Tanjungpinang Pos, 22 Juni 2014, juga dengan mahir, piawai dan asyik memungut dan merampai apa-apa alam lingkungan sekitar menjadi selengkapnya kata-kata dan kalimat puisinya.

Kejelian Hidayat Jasn boleh dikatakan sebagai satu di antara kemampuannya di dalam mengangkat sesuatu di sekitarnya menjadi puisi yang berseri.Lihatlah, bagaimana sebuah lukisan kaligrafi oleh Hidayat dapat direnda dan dirangkai dalam bentuk kata-kata sehingga ianya menjadi puisi. Sebuah lukisan kaligrafi terpasak di dinding/ Bidang warna hijau ditingkah liukan huruf-huruf/ Arab yang merah. Mengungkap limpahan/ Tak terhingga kasih-Nya atas semua ciptaan/ Yang melata di punggung dunia//

Hidayat Jasn telah menyirikan kepenyairannya dari apa-apa sekitarnya, fakta atau kejadian alam.Kesemuanya menggelung dan menggulung sempurna dalam puisi-puisinya. Menebang Tebu: Siang digenani sengat cahaya matahari/ Didorong-dorong angin kerontang/ Kita menebang tebu di tegalan ini/ Baju-baju kita berkibaran// Kemudian puisi Di Tengah Ladang: // Menugal tanah kering di bawah siraman/ Cahaya matahari, peluh berlelehan/ Dan kulit pun melegam. Tapi dari situlah bisa/ Ia hayati kebahagiaan sebagai peladang/ Hati selalu riang dan tergenang deraian tawa//
Betapa pula Hidayat menampilkan kegembiraan yang tulus dan dalam sehingga menjejak kalam-kalam puisinya.Puisi-puisi telah hadir sebagai mengingatkan dan sekaligus mengajak untuk berdamai dengan situasi dan kondisi yang bagaimanapun dengan akhir segalanya keluar dari permasalahan dan pemenang.Bahwa kesepian, kepedihan dan penderitaan sekalipun tidaklah lantas bermuara kepada luka, duka nestapa, melainkan suka, ceria dan bahagia berlama.

Puisi terakhir bulan Juni adalah karya Hastami Cintya Luthfi, yakni “Saung Penyair”, “Metamorfosis”, “Paragraf” dan “Kafka”. Nyatalah pula bagaimana desakan alam lingkungan sekitar sehingga puisi-puisi Hastami tumbuh merecup. Pehamannya akan fungsi kata, irama, puitika, persajakan dan metafora dalam seluruh bangunan puisi, menjadikan puisinya mengena dan berleka-leka nian pembaca dalam membacanya. Semakin dibaca seolah tak kering dan merontakan jiwa.

Kafka: bersama tepis kepak, lamat-lamat/ hinggaplah di mkusim hangat, bermigrasi/ menuju semi. saling mendahului melalui/ reranting yang sibuk menyibak ranggas./ berderap sahut di atas kecipak air./ menyapa angin dengan tarian-tarian/ kasatnya, kemudian mematuki remaham roti/ yang disebar oleh pagi./ maka apa yang disesalkan?/ ceracau polos tanpa aksara—tanpa/ pelabelan nama menjalar dengan pelan, baik/ sepasang induk atau susuannya menggiring/ menuju seceplok sarang di senja hari,/ mematahkan abstraksi.


Tutup Kalam   
Puisi dapat menjadi bagian dari apa-apa alam lingkungan sekitar berbabit sejarahnya, manusianya dan segala apapun yang berlaku. Puisi menjadi ilustrasi atas apa yang telah berlaku bagi manusia dan alam lingkungan sekitarnya. Puisi bukan sebagai kata-kata sekedar waktu ditulis, kini, nanti sahaja, tetapi melampuawi itu semuanya! Puisi sebagai penyeru atas segala apa-apa yang tak terkatakan dengan bahasa apapun.Puisi menjadikan hidup dan alam lingkungan berseri dan surgawi, di dunia dan menuju keabadian yang berkekelan. Maka puisi teruslah menjadi-jadi….! ***




0 komentar:

Don't forget to leave comment :)