Perkenalkan.
Aku adalah pagi. Selalu berada disekelilingmu dengan suapan sarapan pertama
kali. Mendampingi wangi kopi susu yang kau sesap bersama ampasnya. Bergumul
diantara pasir koyak atas hujan semalam. Hujan arabica.
Serupa
ranting yang menatapmu dalam lamunan. Hampir saja. Hampir saja aku mematahkan
diri karena matamu terlalu tajam merasuki tulang kambium. Menelan maklum. Aku
pura – pura tertawa. Lebih tepatnya pura – pura berkicau. Pelan mendekatimu
dengan suara yang sengau. Berharap kau mengasihani burung kecil yang mengitarimu
dengan lemparan potongan bakpau. Maaf, mungkin kataku terlalu klise dan biasa.
Sama kata. Ada dimana – mana.
Asal
kau tau, aku selalu cemburu. Cemburu melihatmu mendekati malam. Kau juga
menatap dan menikmati dia, seakan aku dengannya adalah kembar siam. Aku hanya
ingin merebut teduhmu. Dan menyesali mengapa kau bukan bagian dari peribahasa pungguk
merindukan rembulan. Kau tak perlu berharap ataupun menjadi seekor pungguk yang
bertanya – tanya. Kau tak pernah cemas atau didera khawatir. Karena kau selalu
berhasil membawa sinarnya dalam dengkuran abstrak yang kau buat sendiri.
Mendekapnya sampai menemuiku esok pagi.
Harus
kepada siapakah aku berlari? Kepada sore yang tenggelam? Ah, justru hal itu
yang mengantarkanmu pada si rembulan. Aku tidak mau menangis. Karena kau benci
pagi yang lembab. Aku harus membuat sirkulasi pagi yang menarik. Cantik.
Kau
bilang, aku dan malam adalah pasangan. Tapi, mengapa kau merebut kami berdua?
Tidak bisakah kau meninggalkan malam dan berdua dengan pagiku? Tepatnya memilih
salah satu.
Jika
aku bisa. Aku ingin menceraikan kau dengan
malam beserta si rembulan. Berdoa pada Tuhan. Membunuh keseimbangan. Akankah?
Pagi ada dan malam tiada.
0 komentar:
Posting Komentar