Oleh : H. Abdul Kadir Ibrahim
Ulasan 1
Ketika Kalam Melarai
Entah lagi sedang apa—apakah bercakap-cakap, dalam seminar, rapat, duduk
sendirian, di jalanan, dalam pesawat terbang, kapal laut, pelabuhan,
terminal, mobil, bandara ataupun di mana dan kapan saja—puisi seketika
boleh melarai dalam pikiran dan perasaan sehingga anggota tubuh bernama
jari-tangan menulisnya, baik dengan pena di atas kertas ataupun di alat
elektronik semacam komputer bibit (tentengan), telepon genggam ataupun
komputer “duduk”. Sejatinya, ketika kalam muncul dan datang melarai
dalam pikiran, perasaan dan perenungan, maka beberapa saat selepas itu
wujudlah batang-tubuh puisi—yang paling asli ataupun awal. Selepas itu,
pada lain waktu dan kesempatan membacanya lagi niscayalah ada perbaikan
dan penyempuraannya.
Kalam melarai pikiran dan perasaan sehingga membuncah tak
terbendungkan sampai ditulislah puisi, sebenarnya dapat diamati dan
dipahami dari seluruh batang-tubuh setiap puisi. Sebagian besar puisi
dapat dilaraikan adalah bersebab apa-apa yang berdekat dan diamati serta
direnungkan oleh sang penulisnya (penyair). Karena itu lazim sekali
kita dapat membaca puisi dengan berleret kata-kata tentang banyak benda,
misalnya batu-batu pantai, karang, lautan, ikan, gelombang, sampan,
nelayan dan sebagainya. Pegunungan, pepohonan, sawah, ladang, awan,
langit, angin, dan sebagainya.
Rida K Liamsi—sebagai misal, seorang penyair Melayu-Nusantara yang
telah mengemas puisi sampai begitu menyantak lubuk bacaan kita—untuk
dapatnya kita membaca dan pahami apa yang sebenarnya kita maksudkan
dalam seneraian di atas.
LAUT
Puisi: Rida K Liamsi
Seperti mereka sediakala
akupun berdiri di tebingmu
dengan sebatang tempuling
Tikam!
Maka kutikam jejak riakmu
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana tubirmu
Sentak!
Maka kusentak tancap harapku
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana palungmu
Seperti mereka sediakala
aku pun tak pernah menyerah
pada keluasan
pada kebiruan
pada untung nasib
yang hanyut dari teluk ke teluk
yang terumbang ambing di pundak
ombakmu
Seperti mereka sediakala
akupun senantiasa
Tikam!
Sentak!
Tikam!
Sentak!
Tikaaaaaammm!
Sentaaaakkkk!
!
!
!
!
Tempulingku
Asinmu
Hanya musim
yang bermain
(1982/2000, Rose, 2013:31-32).
Betapa “cinta” telah sebagai mewangikan segala-gala batang-tubuh
puisi Rida K Liamsi berjudul LAUT itu. Alangkah jelasnya puisi itu
memberitahu kepada pembaca tentang apa-apa di alam dan kegaiban telah
melaraikan kalam selengkapbatang-tubuh puisi. Cinta yang dapat
ditangkap, dipahamidan dimaknai dalam puisi dimaksud adalah cinta kepada
Sang Pencipta, Tuhan Yang MahaKuasa, Allah SWT. Laut dan apa-apa
menyertainya dalam puisi itu tampil sebagai misal dan perlambangan.
Di dalam batang-tubuh puisi paling luas dan mendalam dapat diwujudkan
adalah cinta. Agaknya tak ada suatu karya pun yang sepantas puisi di
dalam mengandung atau pun menyimpan apa yang dinamakan cinta. Meskipun
kata-kata dan kalimat yang dipakai begitu singkat, sedikit dan tidak
meluas sebagaimana karya yang lain, tetapi cinta seakan-akan sempurna
dan wujud. Maka tak usah heran pada masa lampau—mungkin juga masa
kini—seorang lelaki untuk mengutarakanmaksud di hatinya dengan seorang
perempuan—yang tak kuasa diungkapkannya dengan kata-kata sebagaimana
percakapan biasa—melalui untaian atau laraian puisi. Rasa rinduku
padamu/ adalah ragi/ rapuhkan ranting ragaku/ adalah racun/ lecuhkan
urat rabuku/ adalah rayap/ runtuhkan ruang rahasiaku// … (Rida K Liamsi,
Ros II, ROS, 2013:26).
Cinta telah “merajai”—mungkin—seluruh puisi?! Dan mengapa begitu?
Karena cinta menjadikan sesuatu, segala atau apapun sebutannya menjadi
bermakna, berarti, jadi kerinduan, tumpuan, harapan ataupun impian untuk
dituju dan diraih. Cinta menjadikan segala sesuatunya berubah. Yang
liar menjadi jinak, yang garang menjadi santun, yang jauh menjadi dekat,
yang tiada menjadi rindu, yang dekat menjadi sayang dan sebagainya.
Cinta menjadikan puisi punya ruh dan senantiasa hidup melebihi kehidupan
yang lainnya di alam fanaini.
Puisi yang Bercinta
Sejalinan dan setautan dengan seneraian dan puisi di atas, niscayalah
banyak puisi dari banyak penyair. Namun dalam kala mulsan puisi kali
ini, khusus kita bendangkan puisi Hastami Cintya Luthfi: “Pada Alas
Ketonggo”, “Lusa”, Pada Monumen Suryo” dan “Penjaja Kenangan”
(Tanjungpinang Pos, Ahad, 13 Juli 2014). Gustu Sasih: “Requiem Pagi”,
“Fragmen Tanpetemahisme”, “Bukan Requiem” dan “Bukan Requiem 2”
(Tanjungpinang Pos, Ahad, 20 Juli 2014). Ajeng Kurniatillah:
“Palestina”, “Rangkaian Kosa Kata” dan “Gerimis dan I miss”
(Tanjungpinang Pos, 3 Agustus 2014). Pada esensialnya menjadi teranglah
sebagai mewujudkan puisi-puisi yang bercinta.
Puisi Hastami Cintya Luthfi “Pada Alas Ketonggo” mengisyaratkan kepada
pembaca tentang sebenarnya juga cinta. Hanya saja cinta dalam puisi itu
lebih menjurus kepada kegaiban dan kegaibann yaitu, tidak kepada Yang
Maha Agung, melainkan ruh dan jejamuan atau sesajian yang berujung pada
kemusyrikan. (bersambung)

Ulasan Puisi di Tanjung Pinang Post, 24 Agustus 2014
Sabtu, 06 September 2014
Diposting oleh Verfasser at 05:04
Langganan:
Postingan (Atom)
Don't forget to leave comment :)