BERSELINGKUH DENGAN REMBULAN

Sabtu, 11 Mei 2013



Perkenalkan. Aku adalah pagi. Selalu berada disekelilingmu dengan suapan sarapan pertama kali. Mendampingi wangi kopi susu yang kau sesap bersama ampasnya. Bergumul diantara pasir koyak atas hujan semalam. Hujan arabica.
Serupa ranting yang menatapmu dalam lamunan. Hampir saja. Hampir saja aku mematahkan diri karena matamu terlalu tajam merasuki tulang kambium. Menelan maklum. Aku pura – pura tertawa. Lebih tepatnya pura – pura berkicau. Pelan mendekatimu dengan suara yang sengau. Berharap kau mengasihani burung kecil yang mengitarimu dengan lemparan potongan bakpau. Maaf, mungkin kataku terlalu klise dan biasa. Sama kata. Ada dimana – mana.
Asal kau tau, aku selalu cemburu. Cemburu melihatmu mendekati malam. Kau juga menatap dan menikmati dia, seakan aku dengannya adalah kembar siam. Aku hanya ingin merebut teduhmu. Dan menyesali mengapa kau bukan bagian dari peribahasa pungguk merindukan rembulan. Kau tak perlu berharap ataupun menjadi seekor pungguk yang bertanya – tanya. Kau tak pernah cemas atau didera khawatir. Karena kau selalu berhasil membawa sinarnya dalam dengkuran abstrak yang kau buat sendiri. Mendekapnya sampai menemuiku esok pagi. 
Harus kepada siapakah aku berlari? Kepada sore yang tenggelam? Ah, justru hal itu yang mengantarkanmu pada si rembulan. Aku tidak mau menangis. Karena kau benci pagi yang lembab. Aku harus membuat sirkulasi pagi yang menarik. Cantik.
Kau bilang, aku dan malam adalah pasangan. Tapi, mengapa kau merebut kami berdua? Tidak bisakah kau meninggalkan malam dan berdua dengan pagiku? Tepatnya memilih salah satu.
Jika aku bisa. Aku ingin menceraikan kau dengan  malam beserta si rembulan. Berdoa pada Tuhan. Membunuh keseimbangan. Akankah? Pagi ada dan malam tiada.
Don't forget to leave comment :)