
PENIKMAT CAHAYA
Sabtu, 19 Oktober 2013
Diposting oleh Verfasser at 06:41Makhluk - makhluk kecil penikmat cahaya
Bergerak dalam ruang adaptasi tanpa lagak
Menari - nari mengitari
Yap - sayap gemulai meliuk tanpa frekuensi
Mengadu akan pergantian musim kurang dari sewindu
Mengisi metamorfosa
Sayap tertanggal satu demi satu
Rentan menyibak
Mengkonversikan kematian dengan jejak pecandu baru
Tergeletak;
Sayap tersapu sepoi.
BERSELINGKUH DENGAN REMBULAN
Sabtu, 11 Mei 2013
Diposting oleh Verfasser at 19:05
Perkenalkan.
Aku adalah pagi. Selalu berada disekelilingmu dengan suapan sarapan pertama
kali. Mendampingi wangi kopi susu yang kau sesap bersama ampasnya. Bergumul
diantara pasir koyak atas hujan semalam. Hujan arabica.
Serupa
ranting yang menatapmu dalam lamunan. Hampir saja. Hampir saja aku mematahkan
diri karena matamu terlalu tajam merasuki tulang kambium. Menelan maklum. Aku
pura – pura tertawa. Lebih tepatnya pura – pura berkicau. Pelan mendekatimu
dengan suara yang sengau. Berharap kau mengasihani burung kecil yang mengitarimu
dengan lemparan potongan bakpau. Maaf, mungkin kataku terlalu klise dan biasa.
Sama kata. Ada dimana – mana.
Asal
kau tau, aku selalu cemburu. Cemburu melihatmu mendekati malam. Kau juga
menatap dan menikmati dia, seakan aku dengannya adalah kembar siam. Aku hanya
ingin merebut teduhmu. Dan menyesali mengapa kau bukan bagian dari peribahasa pungguk
merindukan rembulan. Kau tak perlu berharap ataupun menjadi seekor pungguk yang
bertanya – tanya. Kau tak pernah cemas atau didera khawatir. Karena kau selalu
berhasil membawa sinarnya dalam dengkuran abstrak yang kau buat sendiri.
Mendekapnya sampai menemuiku esok pagi.
Harus
kepada siapakah aku berlari? Kepada sore yang tenggelam? Ah, justru hal itu
yang mengantarkanmu pada si rembulan. Aku tidak mau menangis. Karena kau benci
pagi yang lembab. Aku harus membuat sirkulasi pagi yang menarik. Cantik.
Kau
bilang, aku dan malam adalah pasangan. Tapi, mengapa kau merebut kami berdua?
Tidak bisakah kau meninggalkan malam dan berdua dengan pagiku? Tepatnya memilih
salah satu.
Jika
aku bisa. Aku ingin menceraikan kau dengan
malam beserta si rembulan. Berdoa pada Tuhan. Membunuh keseimbangan. Akankah?
Pagi ada dan malam tiada.
PUISI TENTANG KOTA PADANG
Selasa, 26 Maret 2013
Diposting oleh Verfasser at 19:35
Assalamualaikum.. Kembali dengan postingan puisi. Kali ini adalah puisi yang di ikutkan ke lomba menulis nusantara bertema "Kado untuk Kota Padang tercinta". Sayangnya cuma berhenti di 150 besar. Jadinya gagal dapat hadiah tour kepenulisan ke Malaysia.. Huwaaha :D terus semangat ikut lomba! Happy reading to you all.. -HC
PADANG MASIHKAH BERDENDANG?
(1)
Secawan harap kau atur di perantauan alur bayur
Melatahkan sendawa pada ilalang kencana Padang Panjang : membudaya
Bersama karas menetas di Batang Arau yang menghilir di mahligai tabir
(2)
Tetap kau kenang panggada Bima yang menimbun moyang Sang Padang
Hingga merunduk di balik tanduk yang menyeringai di bilik Sang Gadang
Kau sempatkan menyantap kaba bersahaja yaitu rengat Siti Nurbaya
Mengumbar gelitik rindu yang membingkai sisik hati
(3)
Oh…Padang masihkah berdendang ?
Belum sempat kau haturkan helaian pucuak rabuang
Padang telah tergeletak di pangkuan : merajam kehidupan
Timangan alam penuh gelagat yang meretas rintih
Kau merajuk para rusuk agar tetap menampung nafas di sela reruntuhan
(4)
Padang masih meradang disertai gelimpang
Namun ranah Minang bukanlah senja berjubah manja
(5)
Sesaat kau muncul di peraduan menghadap barat
Mereguk nestapa kemudian terpekur dalam siluet doa
Mencumbu haru di Kota Padang tercinta
Disaksikan pesona juwita yang membahana
Bukan lagi lemah menghujan ,
melainkan diiringi dendang sepotong rendang
CERACAU SANG INSPIRASI
Senin, 18 Maret 2013
Diposting oleh Verfasser at 06:22
Segelas perekat hitam terseduh dalam ironi pagi,
tanpa basa – basi mulai mengendus imaji diatas meja
berkaki
dia memaki “Bait – bait ini tak bermakna!”
Duduk terkantuk hingga terantuk sisi – sisi ilusi
dan
mulai menanyakan “Inikah yang kau sebut diksi?”
Seikat kepala hanya mampu berpacu pada personifikasi
lugu
“Angin menari
– nari disekelilingmu”
Teruntuk pulas – pulas senja dalam coretan karya
platonik
yang memicik
Sang inspiran masih berceracau “mainkan pena
telunjukmu”
Hembus nafas termaktub bertubi – tubi hingga
lembaran
melayang, meluruh dan menyentuh tanah : melemah
Mulai menyerah “Aku tak sanggup meraba citraan
pendengaran”
Kalimat – kalimat sengau yang terintimidasi
menuntut sebuah puisi serasi
Termaki lagi “Bodoh! Puisi itu dari hati,
jangan pikirkan gemeretuk gigi tanpa inspirasi”
Langganan:
Postingan (Atom)
Don't forget to leave comment :)