CERPEN ISLAMI ^^

Rabu, 26 September 2012

KEKASIH HAKIKI

              Suasana pagi ini begitu cerah diiringi guguran daun kecoklatan yang melepas lelah. Dibalik pohon yang hanya beranting itu tumbuh pakis haji dan bunga euphorbia yang ditata melingkar. Nazwa tersenyum sejenak sambil menghirup aroma tanah bekas hujan semalam. Madrasah Aliyah Negeri, ya sekolahnya itu memang sekolah paling manis dan sejuk diantara sekolah yang pernah ia temui. Kini Nazwa melewati lorong untuk menuju kelasnya. Sekilas ia teringat seseorang saat melewati kelas  XI IPA 2. “Ah Rowi? Apa ia sudi membalas suratku kemarin?” gumam Nazwa dalam hati. Rowi Handika Wiratama, laki – laki itu berhidung mancung karena ayahnya keturunan Arab. Rowi pintar sekali membaca Al – Qur’an dan seringkali menjuarai lomba kaligrafi. Itulah yang sering kali membuat Nazwa berdegup jantungnya saat berpapasan dengan Rowi. Meskipun tak sempat saling pandang karena saling menjaga mata, namun Nazwa ingin  mengungkapkan perasaannya pada Rowi. Hingga akhirnya kemarin Nazwa menulis surat cinta untuk Rowi. “Nekat!” yah itulah yang ada dibenak Nazwa. Apa salahnya akhwat menyatakan duluan?
              “Neng?” sapa seorang penjaga sekolah memanggil Nazwa. Nazwa menoleh “Ada apa, Mang?”, tanya Nazwa lembut. “Afwan, Eneng namanya Nazwa kan?”. “Iya memangnya kenapa, Mang?” tanya Nazwa heran. “Ini ada titipan surat untuk Neng Nazwa!” ujar Mamang itu sambil menyodorkan surat beramplop putih. “Dari siapa?” sahut Nazwa cepat. “Wah, Mamang juga kurang tau!”. “Akhwat atau ikhwan, Mang?”. “Ikhwan, Neng!” ujar Mamang itu sambil terus menyapu. Nazwa langsung berfikir kalau itu adalah surat jawaban dari Rowi. Segera ia membuka surat itu dan ternyata isinya
“ Maaf Ukhti Nazwa, saya tidak bisa menerima
Ukhti Nazwa karena saya sudah mempunyai kekasih”
                                                TTD Rowi Handika
              Nazwa terhenyak membaca surat tersebut. Ternyata ia ditolak oleh ikhwan tampan tersebut. Tak hanya itu, Rowi sudah punya kekasih? Siapa? Selama ini Nazwa belum pernah menjumpai Rowi jalan bersama wanita. Bahkan mungkin Rowi terlalu sibuk mengurusi organisasi – organisasi disekolah. Tanpa sengaja bulir – bulir bening mengalir dipipi Nazwa. “Ya Allah, salahkah aku mencintainya?” gumamnya.
              Nazwa segera naik tangga menuju kelasnya. Air matanya tetap mengalir dan sebagian ia usap dengan jilbab putihnya. Ia sungguh kecewa dengan sikap Rowi. Ia merasa perasaannya sama sekali tidak dihargai. “ Masya Allah, Nazwa kamu kenapa?” tanya Fathiya melihat teman sebangkunya datang dengan derai air mata. Nazwa hanya mampu menyodorkan surat dari Rowi. “Jadi kamu kemarin nekat mengirim surat ke Rowi? Kenapa kamu, Naz? Tidak biasanya kamu berani menyatakan perasaan sama ikhwan?” tanya Fathiya bertubi – tubi. “Memangnya salah aku punya rasa cinta padanya, Fa?” Nazwa justru balik bertanya.
              “Bukan seperti itu Naz, cinta itu memang fitrah dari Allah namun kita harus bisa mengendalikannya, jangan sampai cinta itu berlebihan. Kita ini masih kelas XI, perjalanan kita masih jauh. Lagipula jodoh itu sudah ditentukan sama Allah, kita tidak perlu mencari karena suatu saat pasti akan di datangkan kalau sudah tiba waktunya”
              “Tapi hatiku terlanjur sakit Fa, dia sudah punya kekasih!” kata Nazwa sesenggukkan. “Rowi punya kekasih? Mungkin kamu salah paham Naz, sepertinya Rowi menjauhi hal – hal berbau zina seperti keterikatan dalam kata “pacaran”. Sudahlah, jangan menangis lagi Naz, kalau memang kamu bagian dari tulang rusuk Rowi pasti suatu saat akan dipertemukan kembali, ayo senyum Cantikku!”  kata Fathiya menghibur sahabatnya sejak kecil itu. Nazwa menyeka air mata dan tersenyum. Hatinya lebih baik sekarang. Bel masuk pun berbunyi. Mereka pun mengikuti pelajaran ilmu Fiqih yang disampaikan Pak Fahrozi.
              Disela – sela pelajaran, Pak Fahrozi membahas makna pacaran kepada para murid. “Banyak dari kalian yang sudah mengenal “pacaran” padahal dalam Islam tidak ada kata pacaran melainkan khitbah atau taa’ruf yang artinya menikahi dalam waktu dekat, mungkin ada yang bisa menjelaskan sisi positif apa saja ketika kita pacaran?” ujar Pak Fahrozi lantang. “Dapat menjadi penyemangat belajar, Pak!”  seru Bahrul sang ketua kelas. “Baiklah ada yang lain?” tanya Pak Fahrozi lagi. “Hmm, dengan pacaran kita bisa mengenal karakter lawan jenis Pak!” sahut Surya. Anak – anak pun bergantian mengutarakan pendapatnya.
               “Nah, sekarang gantian kita sebutkan sisi negatif dari pacaran menurut padangan umum maupun pandangan Islam!” perintah Pak Fahrozi. “Zina, Pak! karena biasanya orang pacaran itu sering berdua – duaan” cetus Fathiya cepat. “Menghabiskan uang saja, Pak, cewek zaman sekarang kan matre!” jawab Jojo sambil nyengir diikuti sorakan teman – temannya. “Perkataan Jojo ada benarnya, pacaran pasti mengeluarkan uang baik ketika makan bersama ataupun membelikan kado untuk pacarnya padahal kalian sendiripun belum berpenghasilan. Kalian masih minta uang pada orang tua kan?” tanya Pak Fahrozi. “Masiiiiih Pak” sahut anak – anak serentak. Kesimpulannya kalau kita fikir – fikir pacaran itu lebih banyak sisi negatifnya dibanding sisi positifnya. Fathiya melirik Nazwa sejenak, ia berharap Nazwa dapat menyadari perkataan Pak Fahrozi. “Anak – anak, belum lagi pacaran itu pasti mendekati zina, dalam Qur’an surat Al – Isra’ dijelaskan bahwa : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Zina itu juga bisa dilakukan oleh mata. Apabila kalian tidak menjaga mata, mengumbar pandangan maka itu juga disebut zina.
              “Pak, tapi kan manusia itu diberi anugrah cinta oleh Allah, apa salah kalau kita ingin mengungkapkan perasaan itu?” ujar Nazwa akhirnya buka suara. “Begini Naz, menyatakan cinta sebagai kejujuran hati itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun Islam hanya memberikan batasan – batasan antara boleh dan tidak boleh hubungan antara laki – laki dan perempuan yang bukan suami istri” jelas Pak Fahrozi diselingi senyum wibawanya. Nazwa mengangguk kecil. Ia mulai mengerti sekarang. “Alhamdulillah, syukron Pak Fahrozi atas nasehatnya” ucap Nazwa dalam hati. Nazwa pun bisa mengikuti pelajaran dengan tenang tanpa memikirkan kekalutan hatinya lagi.
****
              Keesokan harinya Fathiya pergi ke rumah Nazwa. Kebetulan hari itu hari minggu. “Tok…tok ...tok …Assalamualaikum” seru Fathiya sambil mengetuk pintu depan rumah Nazwa. “Waalaikumsalam…eh Fathiya , masuk saja, Nazwanya ada di kamar atas!” sambut Umi Nazwa ramah. Fathiya segera menuju kamar Nazwa setelah meminta izin dengan sopan pada Uminya Nazwa. “Hey Naz, lagi ngapain? Jalan – jalan yuk?” ajak Fathiya. “Mau kemana?” tanya Nazwa sambil membereskan kertas –kertas coretan diatas meja belajarnya. “Yah keliling – keliling komplek aja, sambil ke rumah Ukhti Afifah ambil jahitan bajuku, mau kan?”. “Iya” sahut Nazwa. Setelah Nazwa memakai jilbab abu - abunya, mereka berangkat naik sepeda.
              “Ukhti lagi sibuk apa?” tanya Nazwa sesampainya diteras  rumah Ukhti Afifah. “Eh kalian, silahkan masuk, afwan Ukhti lagi buat buletin untuk anak – anak pondok pesantren” terang Ukhti Afifah ramah. “Tentang apa, Ukh?” giliran Fathiya yang bertanya. “Tentang hubungan pacaran anak – anak sekarang, Ukhti prihatin banyak yang jadi korban zina atas hubungan kedekatan tersebut, Fa!”. “Ya memang zamannya sudah jauh dari agama Ukhti, sekarang kebanyakan remaja tidak memikirkan masa depan, bahkan sampai menggadaikan urusan dunia yang sangat murah dibanding dengan akhirat yang kekal dan mahal harganya” ujar Fathiya lagi. “Nah itulah yang jadi masalah, makanya Ukhti membuat buletin untuk sekedar memberikan motivasi, Oh ya Fathiya kamu mau mengambil jahitan yang kemarin kan?”. “Iya Ukhti”.
              Saat itu juga, Nazwa teringat perkataan Ukhti Afifah barusan, juga perkataan Pak Fahrozi kemarin. Pacaran memang banyak mudharatnya apabila belum waktunya. Kini ia bertekad untuk serius pada sekolahnya dan bisa masuk perguruan tinggi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Yah seperti impiannya. Ia yakin, Allah pasti akan memeluk impian – impian itu. Amiinn.
****
              Senin tiba, dan hari ini adalah hari Maulid Nabi. Seperti biasanya sekolah Nazwa mengadakan peringatan terhadap hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut. Tak lupa diramaikan oleh Hadroh di sekolah Nazwa. Ia memegang rebana. Tak disangka ternyata Rowi menjadi panitia acara tersebut. Rowi terlihat mengatur siswa – siswa di pelataran dan ia bersiap memberikan sambutan. Rowi tersenyum melihat Nazwa. Namun Nazwa menundukkan pandangannya.
              Seusai acara tersebut, ada istirahat selama 15 menit. Nazwa dan Fathiya memilih menuju taman sekolah untuk membaca novel Habiburrahman El – Shirazy yang kemarin mereka pinjam diperpustakaan. “Assalamualaikum Ukhti Nazwa dan Ukhti Fathiya!” sapa Rowi lembut. “Waalaikumsalam Akhi Rowi, ada perlu sama siapa?” sambut Nazwa. “Afwan saya mau menyampaikan sesuatu kepada Ukhti Nazwa, begini Ukhti saya mau minta maaf soal yang kemarin, tentang surat Ukhti pada saya, kemarin yang saya maksud kekasih adalah kekasih Hakiki yaitu Allah SWT, menurut saya belum waktunya kita mengejar kekasih dunia jadi saya tidak bisa menerima Ukhti Nazwa kemarin” ujar Rowi. “Sudahlah Akhi tidak ada yang salah, lupakan soal yang kemarin, sekarang saya ingin bertanya apa Akhi Rowi masih mau menjadi teman saya?”. “Tentu Ukhti, kita sesama muslim memang harus menjaga hubungan baik satu sama lain” jelas Rowi sambil membetulkan pecinya. “Terima kasih Akhi”. “Kalau begitu saya mau ke ruang Osis dulu ya Ukhti karena sebentar lagi akan ada rapat anggota Osis” kata Rowi lagi. “Iya silahkan”.
              Nazwa tersenyum kearah Fathiya yang sedari mendengar pembicaraan mereka. “Benar kan kataku? Rowi pasti belum punya kekasih dunia melainkan kekasih Hakiki yaitu Allah” seru Fathiya. “Ya memang seharusnya begitu, sekarang aku juga mau fokus dengan ibadah dan sekolah” kata Nazwa. “Nah gitu donk baru sahabatku, nanti kalau sudah saatnya pasti akan dipertemukan dengan pangeran pilihan Allah!” sahut Fathiya. “Iyaa..amiin makasih ya sahabatku!” ujar Nazwa sambil mencubit pipi Fathiya. Mereka pun tertawa bersama ditengah keindahan langit biru ciptaan Allah yang Maha besar.

*SELESAI*





                                                                                                                                     

PUISI

Sabtu, 01 September 2012




DIKSI KEMATIAN

19 Januari 2012,
Gerimis memucat dan menghampiri daun – daun berdiksi ke(mati)an.
Nuansa selaksa mengoar aroma mahsyar. Meringkuk dalam lubang yang telah tergali
oleh ruas jari. Langit berubah langsat. Pucuk – pucuk peraduan yang menyusun
satuan nisan. Teraut serupa tampang memelas menanya nafas ceria. Bersandar pada
dinding dunia namun merapuh. Segaris cahaya tersemat pada bilik duka. Hingga wanita muda berteriak “anakkuuu!” Termaktub bulir air yang mengaca, sejenak meredam sajak euforia.
Ibunya berharap dia tertidur oleh suri. Namun anak itu hanya terbujur kaku dan terlucuti dalam rebah. Melengkinglah pada si keriput tua. “Kau apakan anakku? Terseduh sesal menyeruak karna telah kutitipkan buah cintaku padamu!”
Berbelas rasa menyuap kronologi yang meronta – ronta,inilah fakta:
                        Menghindar
                                    Terlempar
                                                Terkapar
                                                            Menyusup hingar
                                                                        Berbau bangar
Dalam nada ke 420 semua filosofi ironi terhenti.

18 Januari 2012,
Kau hidup! Semua masih menyapamu…
Gadis manis, lesung pipimu telah menebar aroma pias. Senyummu memoles senja dengan pulas – pulas yang kau bawa. Angin menari – nari di sekelilingmu. Membisik diantara celah rambutmu yang mengakar ; penuhi rindu. Kiasan matamu beradu dengan waktu. Masih sempat lentik jemarimu mengetik “sedang apa sayang?”
Oh, ternyata dia pacarmu. Yang pingsan esok harinya sambil mendekap boneka baru untukmu

Ngawi, 04-02-2012
.
Don't forget to leave comment :)