KEKASIH HAKIKI
Suasana pagi ini begitu cerah
diiringi guguran daun kecoklatan yang melepas lelah. Dibalik pohon yang hanya
beranting itu tumbuh pakis haji dan bunga euphorbia yang ditata melingkar.
Nazwa tersenyum sejenak sambil menghirup aroma tanah bekas hujan semalam.
Madrasah Aliyah Negeri, ya sekolahnya itu memang sekolah paling manis dan sejuk
diantara sekolah yang pernah ia temui. Kini Nazwa melewati lorong untuk menuju
kelasnya. Sekilas ia teringat seseorang saat melewati kelas XI IPA 2. “Ah Rowi? Apa ia sudi membalas
suratku kemarin?” gumam Nazwa dalam hati. Rowi Handika Wiratama, laki – laki itu
berhidung mancung karena ayahnya keturunan Arab. Rowi pintar sekali membaca Al
– Qur’an dan seringkali menjuarai lomba kaligrafi. Itulah yang sering kali
membuat Nazwa berdegup jantungnya saat berpapasan dengan Rowi. Meskipun tak
sempat saling pandang karena saling menjaga mata, namun Nazwa ingin mengungkapkan perasaannya pada Rowi. Hingga
akhirnya kemarin Nazwa menulis surat cinta untuk Rowi. “Nekat!” yah itulah yang
ada dibenak Nazwa. Apa salahnya akhwat menyatakan duluan?
“Neng?” sapa seorang penjaga
sekolah memanggil Nazwa. Nazwa menoleh “Ada apa, Mang?”, tanya Nazwa lembut. “Afwan,
Eneng namanya Nazwa kan?”. “Iya memangnya kenapa, Mang?” tanya Nazwa heran. “Ini
ada titipan surat untuk Neng Nazwa!” ujar Mamang itu sambil menyodorkan surat
beramplop putih. “Dari siapa?” sahut Nazwa cepat. “Wah, Mamang juga kurang
tau!”. “Akhwat atau ikhwan, Mang?”. “Ikhwan, Neng!” ujar Mamang itu sambil terus
menyapu. Nazwa langsung berfikir kalau itu adalah surat jawaban dari Rowi.
Segera ia membuka surat itu dan ternyata isinya
“ Maaf Ukhti
Nazwa, saya tidak bisa menerima
Ukhti Nazwa
karena saya sudah mempunyai kekasih”
TTD
Rowi Handika
Nazwa terhenyak membaca surat
tersebut. Ternyata ia ditolak oleh ikhwan tampan tersebut. Tak hanya itu, Rowi
sudah punya kekasih? Siapa? Selama ini Nazwa belum pernah menjumpai Rowi jalan
bersama wanita. Bahkan mungkin Rowi terlalu sibuk mengurusi organisasi –
organisasi disekolah. Tanpa sengaja bulir – bulir bening mengalir dipipi Nazwa.
“Ya Allah, salahkah aku mencintainya?” gumamnya.
Nazwa segera naik tangga menuju
kelasnya. Air matanya tetap mengalir dan sebagian ia usap dengan jilbab
putihnya. Ia sungguh kecewa dengan sikap Rowi. Ia merasa perasaannya sama
sekali tidak dihargai. “ Masya Allah, Nazwa kamu kenapa?” tanya Fathiya melihat
teman sebangkunya datang dengan derai air mata. Nazwa hanya mampu menyodorkan
surat dari Rowi. “Jadi kamu kemarin nekat mengirim surat ke Rowi? Kenapa kamu,
Naz? Tidak biasanya kamu berani menyatakan perasaan sama ikhwan?” tanya Fathiya
bertubi – tubi. “Memangnya salah aku punya rasa cinta padanya, Fa?” Nazwa
justru balik bertanya.
“Bukan seperti itu Naz, cinta itu
memang fitrah dari Allah namun kita harus bisa mengendalikannya, jangan sampai
cinta itu berlebihan. Kita ini masih kelas XI, perjalanan kita masih jauh.
Lagipula jodoh itu sudah ditentukan sama Allah, kita tidak perlu mencari karena
suatu saat pasti akan di datangkan kalau sudah tiba waktunya”
“Tapi hatiku terlanjur sakit Fa,
dia sudah punya kekasih!” kata Nazwa sesenggukkan. “Rowi punya kekasih? Mungkin
kamu salah paham Naz, sepertinya Rowi menjauhi hal – hal berbau zina seperti
keterikatan dalam kata “pacaran”. Sudahlah, jangan menangis lagi Naz, kalau
memang kamu bagian dari tulang rusuk Rowi pasti suatu saat akan dipertemukan
kembali, ayo senyum Cantikku!” kata
Fathiya menghibur sahabatnya sejak kecil itu. Nazwa menyeka air mata dan
tersenyum. Hatinya lebih baik sekarang. Bel masuk pun berbunyi. Mereka pun
mengikuti pelajaran ilmu Fiqih yang disampaikan Pak Fahrozi.
Disela – sela pelajaran, Pak
Fahrozi membahas makna pacaran kepada para murid. “Banyak dari kalian yang
sudah mengenal “pacaran” padahal dalam Islam tidak ada kata pacaran melainkan khitbah
atau taa’ruf yang artinya menikahi dalam waktu dekat, mungkin ada yang bisa
menjelaskan sisi positif apa saja ketika kita pacaran?” ujar Pak Fahrozi
lantang. “Dapat menjadi penyemangat belajar, Pak!” seru Bahrul sang ketua kelas. “Baiklah ada
yang lain?” tanya Pak Fahrozi lagi. “Hmm, dengan pacaran kita bisa mengenal
karakter lawan jenis Pak!” sahut Surya. Anak – anak pun bergantian mengutarakan
pendapatnya.
“Nah, sekarang gantian kita sebutkan sisi
negatif dari pacaran menurut padangan umum maupun pandangan Islam!” perintah
Pak Fahrozi. “Zina, Pak! karena biasanya orang pacaran itu sering berdua –
duaan” cetus Fathiya cepat. “Menghabiskan uang saja, Pak, cewek zaman sekarang
kan matre!” jawab Jojo sambil nyengir diikuti sorakan teman – temannya.
“Perkataan Jojo ada benarnya, pacaran pasti mengeluarkan uang baik ketika makan
bersama ataupun membelikan kado untuk pacarnya padahal kalian sendiripun belum
berpenghasilan. Kalian masih minta uang pada orang tua kan?” tanya Pak Fahrozi.
“Masiiiiih Pak” sahut anak – anak serentak. Kesimpulannya kalau kita fikir –
fikir pacaran itu lebih banyak sisi negatifnya dibanding sisi positifnya.
Fathiya melirik Nazwa sejenak, ia berharap Nazwa dapat menyadari perkataan Pak
Fahrozi. “Anak – anak, belum lagi pacaran itu pasti mendekati zina, dalam
Qur’an surat Al – Isra’ dijelaskan bahwa : “Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk”. Zina itu juga bisa dilakukan oleh mata. Apabila kalian tidak menjaga
mata, mengumbar pandangan maka itu juga disebut zina.
“Pak, tapi kan manusia itu diberi
anugrah cinta oleh Allah, apa salah kalau kita ingin mengungkapkan perasaan
itu?” ujar Nazwa akhirnya buka suara. “Begini Naz, menyatakan cinta sebagai
kejujuran hati itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun Islam hanya
memberikan batasan – batasan antara boleh dan tidak boleh hubungan antara laki
– laki dan perempuan yang bukan suami istri” jelas Pak Fahrozi diselingi senyum
wibawanya. Nazwa mengangguk kecil. Ia mulai mengerti sekarang. “Alhamdulillah,
syukron Pak Fahrozi atas nasehatnya” ucap Nazwa dalam hati. Nazwa pun bisa
mengikuti pelajaran dengan tenang tanpa memikirkan kekalutan hatinya lagi.
****
Keesokan harinya Fathiya pergi ke
rumah Nazwa. Kebetulan hari itu hari minggu. “Tok…tok ...tok …Assalamualaikum”
seru Fathiya sambil mengetuk pintu depan rumah Nazwa. “Waalaikumsalam…eh
Fathiya , masuk saja, Nazwanya ada di kamar atas!” sambut Umi Nazwa ramah.
Fathiya segera menuju kamar Nazwa setelah meminta izin dengan sopan pada Uminya
Nazwa. “Hey Naz, lagi ngapain? Jalan – jalan yuk?” ajak Fathiya. “Mau kemana?”
tanya Nazwa sambil membereskan kertas –kertas coretan diatas meja belajarnya.
“Yah keliling – keliling komplek aja, sambil ke rumah Ukhti Afifah ambil
jahitan bajuku, mau kan?”. “Iya” sahut Nazwa. Setelah Nazwa memakai jilbab abu
- abunya, mereka berangkat naik sepeda.
“Ukhti lagi sibuk apa?” tanya
Nazwa sesampainya diteras rumah Ukhti
Afifah. “Eh kalian, silahkan masuk, afwan Ukhti lagi buat buletin untuk anak –
anak pondok pesantren” terang Ukhti Afifah ramah. “Tentang apa, Ukh?” giliran
Fathiya yang bertanya. “Tentang hubungan pacaran anak – anak sekarang, Ukhti
prihatin banyak yang jadi korban zina atas hubungan kedekatan tersebut, Fa!”.
“Ya memang zamannya sudah jauh dari agama Ukhti, sekarang kebanyakan remaja
tidak memikirkan masa depan, bahkan sampai menggadaikan urusan dunia yang
sangat murah dibanding dengan akhirat yang kekal dan mahal harganya” ujar
Fathiya lagi. “Nah itulah yang jadi masalah, makanya Ukhti membuat buletin
untuk sekedar memberikan motivasi, Oh ya Fathiya kamu mau mengambil jahitan
yang kemarin kan?”. “Iya Ukhti”.
Saat itu juga, Nazwa teringat
perkataan Ukhti Afifah barusan, juga perkataan Pak Fahrozi kemarin. Pacaran
memang banyak mudharatnya apabila belum waktunya. Kini ia bertekad untuk serius
pada sekolahnya dan bisa masuk perguruan tinggi di Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta. Yah seperti impiannya. Ia yakin, Allah pasti akan memeluk impian –
impian itu. Amiinn.
****
Senin tiba, dan hari ini adalah
hari Maulid Nabi. Seperti biasanya sekolah Nazwa mengadakan peringatan terhadap
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut. Tak lupa diramaikan oleh Hadroh di sekolah
Nazwa. Ia memegang rebana. Tak disangka ternyata Rowi menjadi panitia acara
tersebut. Rowi terlihat mengatur siswa – siswa di pelataran dan ia bersiap
memberikan sambutan. Rowi tersenyum melihat Nazwa. Namun Nazwa menundukkan
pandangannya.
Seusai acara tersebut, ada
istirahat selama 15 menit. Nazwa dan Fathiya memilih menuju taman sekolah untuk
membaca novel Habiburrahman El – Shirazy yang kemarin mereka pinjam
diperpustakaan. “Assalamualaikum Ukhti Nazwa dan Ukhti Fathiya!” sapa Rowi
lembut. “Waalaikumsalam Akhi Rowi, ada perlu sama siapa?” sambut Nazwa. “Afwan
saya mau menyampaikan sesuatu kepada Ukhti Nazwa, begini Ukhti saya mau minta
maaf soal yang kemarin, tentang surat Ukhti pada saya, kemarin yang saya maksud
kekasih adalah kekasih Hakiki yaitu Allah SWT, menurut saya belum waktunya kita
mengejar kekasih dunia jadi saya tidak bisa menerima Ukhti Nazwa kemarin” ujar
Rowi. “Sudahlah Akhi tidak ada yang salah, lupakan soal yang kemarin, sekarang
saya ingin bertanya apa Akhi Rowi masih mau menjadi teman saya?”. “Tentu Ukhti,
kita sesama muslim memang harus menjaga hubungan baik satu sama lain” jelas
Rowi sambil membetulkan pecinya. “Terima kasih Akhi”. “Kalau begitu saya mau ke
ruang Osis dulu ya Ukhti karena sebentar lagi akan ada rapat anggota Osis” kata
Rowi lagi. “Iya silahkan”.
Nazwa tersenyum kearah Fathiya
yang sedari mendengar pembicaraan mereka. “Benar kan kataku? Rowi pasti belum
punya kekasih dunia melainkan kekasih Hakiki yaitu Allah” seru Fathiya. “Ya
memang seharusnya begitu, sekarang aku juga mau fokus dengan ibadah dan
sekolah” kata Nazwa. “Nah gitu donk baru sahabatku, nanti kalau sudah saatnya
pasti akan dipertemukan dengan pangeran pilihan Allah!” sahut Fathiya.
“Iyaa..amiin makasih ya sahabatku!” ujar Nazwa sambil mencubit pipi Fathiya.
Mereka pun tertawa bersama ditengah keindahan langit biru ciptaan Allah yang
Maha besar.
*SELESAI*