di Tanjungpinang Pos, terkadang terdapat pengulasan puisi - puisi penyair yang di muat disana. Kali ini puisi saya dan 2 penyair lainnya di ulas disini :)
KETIKA PUISI MENYAPA SEMESTA
Oleh: H. Abdul Kadir Ibrahim
Kalam Buka
Puisi sejatinya bersebati dengan budaya dan bangsa sang penyairnya.
Adalah perjalanan suatu bangsa, perubahan masyarakat, tampilan
pemerintahan, hiruk-pikuk politik dan sosial kemasyarakatan dapat
melecut ide dan gagasan lahirnya puisi. Dalam kaitan ini munculnya
seorang tokoh di tengah masyarakat suatu bangsa ataupun negara dapat
saja menjadi daya pikat sehingga jadi jalinan kata bagi batang tubuh
puisi yang memukau.
Nama-nama yang amat berarti bagi suat bangsa, misalnya di Indonesia,
dapat saja menjadi jalinan kalam puisi. Kalau ditarik ke kawasan bekas
Kerajaan Melayu Raya: Riau-Johor-Pahang dan Lingga dengan Sultannya Yang
Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III)
yang benar-sejati sebagai tokoh pahlawan Perang Grilya Bahari (Laut)
yang pada akhirnya menundukkan Belanda dan Inggris! Atau nama
Diponegoro, dan nama yang tidak terlalu jauh dengan kita dewasa ini
adalah Bung Karno.
Pada intinya nama tenar dan bermakna semacam itu dapat menjadi jalar,
ragaian dan jalinan kata puisi karena ianya begitu melekat dengan
kebesaran bangsa (negara). Apa-apa yang menyertai dan mengitari
perjuangannya untuk bangsa dan dirinya sendiri menjadi sembulan
kata-kata sehingga membungbunglah leretan puisi yang membumi.
Dengan demikian menjadi masuk akal dan beralasan bila ada di antara
nama-nama tokoh atau nama yang begitu dikenal khususnya dalam perjalanan
bangsa dan negara Indonesia pada akhirnya mendapat tempat dalam
kreativitas penyair. Bahwa nama sang tokoh menjadi puisi, yang bukan
karena hendak mendapatkan sesuatu dari sang nama itu, melainkan
semata-mata sebagai murni karya seni puisi.
Dari penjelasan di atas dapat dipahamkan ternyata luahan ataupuan
saukan puisi begitu luas, dan alangkah wujudnya sebagai menyapa
semesta.Bahwa apa-apa yang berlaku di alam dunia ini, menyangkut manusia
dan kehidupannya ataupun perkara-perkara alam ghaib sekalipun, termasuk
tentang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dapat dengan seterangnya menjadi
timbunan-timbunan puisi.Maka ketika puisi menyapa semesta niscayalah
keindahan sejati yang menjadi makna hidup dan kehidupan yang hakiki.Bila
demikian niscayalah kebencian dan laku-fitnah takkan pernah dikempitkan
di diri.Sebaliknya keindahan dan kedamaian yang maha luas senantiasa
direnjnis bagaikan air penawar dan setia ditebar-tebarkan.
Kaitan puisi dengan alam semesta, lingkungan sekitar demikian wujud
dalam puisi-puisi yang dimuat Tanjungpinang Pos terbitan Juni
2014.Penyairnya adalah Kinanti (Kinanthi Anggraini), Hastami Cintya
Luthfi, dan Hidayat Jasn.Puisi-puisi mereka memberikan alam dan terasa
menjadi begitu dekat, akrab dan tak terpisahkan dengan hidup dan
kehidupan sesiapa pun insannya. Puisi sebagai menarah ketololan dan
kebebalan perilaku yang tak ambil berat terhadap alam lingkungan
sekitarnya.
Selari penjelasan di atas, peristiwa bersejarah, penuh makna,
kebanggaan dan kenanangan, yang kita kenal sebagai Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, dapat dikatakan sebagai
peristiwa alam lingkungan sekitar, yang niscayalah menjadi tak kalah
unik dan menarik dituangkan dalam untaian puisi.
Secara lebih khusus lagi berbabit dengan nama atau tokoh yang hendak
menjadi presiden dan wakil presiden. Kehadiran nama tokoh dimaksud di
tengah masyarakat tentu bukan sebagai kebetulan dan sekedarnya,
melainkan atas kehendak dan tuntutan rakyat secara meluas. Maka tak usah
heran bila nama dimaksud pun menjadi begitu fenomenal dan dielu-elukan
masyarakat, yang dalam hal ini yang terdekat dengan zaman kita hari ini
antara lain Jokowi (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kala).
JOKOWI
negeri pertiwi
membaja besi
sama sekali
tak sekedar unjuk gigi
bangun dan jadi
dari duka yang umbi
perjuangan sekarut urat nadi
beriburibu pahlawan terbunuh mati
satu di antaranya
sultan mahmud ri’ayat syah
pahlawan grilyawan bahari sejati
laut sehamparan
seakan setalam penuh genggaman
berani berpantang mati
menggenap mimpi
belanda dan inggris pun
rontok kuasa dan taji
seperti ayam betina
seusai terberak asap berdaki
awan
dan tanah air indonesia
menjelma pucuknya segar tinggi
putra fajar soekrno
lidahkan langit
merdeka indonesia niscayai
di muka bersembi
harihari menempa bakti
bung karno:
dari penjara ke penjara
merdeka citacita capaian abadi
sampai tiba inti
deklarasikan seuntai kalam
pancasila nama diberi
proklamasi indonesia penuhi
ruang angkasa tinggi
indonesia merdeka
senyata pasti
berdaulat
ada marwah harga diri
dan sampai
presiden silih-ganti
selepas megawati seokarnoputri
ada lagi
daninimenjadijadi
menggelora dalam rakyat
sehati sanubari
sempurna cahaya mentari
joko widodo-jokowi
indonesia berjatidiri
mental direvolusi
menyergam akhlaq terpuji
bertangkub baja-besi
bernyali terus meninggi
gigi berseri dan bernyanyi
berarti di antara negerinegeri
sekotah alam-bumi
indonesia meredeka
terpuji
diri setia
sampai mati
!
Persebatian Ucap Memesona
Puisi-puisi (Tanjungpinang Pos, 8 Juni 2014), dua puisi, “Cemara
Putih”, dan “Kembar Mayang Dewadaru” karya Khinanti Anggraini. Dalam
puisi “Cemara Putih”, betapa Khinanti menampilkan alam lingkungan
selitar dengan kata yang indah, metafora yang tepat dan suasana yang
mengena.Puitika puisi inipun terpapar elok, dan mengesankan. // mentari
terbit di hati/ bersama urat cahaya yang tak mengenal ujung/ bumi/ untuk
kau yang tak lekas keluar dari ingatan/ untuk mekar dalam kuncup senyum
yang/ kurindukan/ walau telah kuparut seluruh isi kepala/ terhempas
gerimis nestapa dan badai marina/ sedangkan mataku tinggal separuh/
mencoba memulas jejak yang mulai luruh// (Cemara Puti).
Dalam puisi “Kembar Mayang Dewadaru”, Khinanti Anggraini berujar:
pengantar kayu dewadaru dan/ daun kencana/ bersama janur kuning, bunga/
padi dan kelapa/ dua rangkaian yang berjumlah/ sepasang/ yang dinamai
rangkaian kembar/ mayang//
Bahwa Khinanti mempertegas keberadaan dan
kekuatan alam lingkungan sekitar menjadi ramuan pokok dari puisi.
Perkara menarik dan indah adalah puisi dengan kata-kata perpaduan
identitas alam lingkungan dengan metafora puisi.Puitika dalam puisi
inipun demikian nyata, membuat sentakan dan pesona.
Selanjutnya Tanjungpinang Pos, 15 Juni 2014, ada puisi hanya dengan
nama “Kinanti”. Apakah sama orangnya dengan “Kinanthi Anggraini”?
Agaknya sama. Ada lima puisi, “Midodareni”, “Kidung Tersembunyi”,
“Dendang Sepotong Bulan”, “Terbang” dan “Mimpi Pertama”.
Puisi-puisi
selari dengan puisi di atas begitu dekat dan mengakrabi alam lingkungan
sekitar. Kinanthi telah betapa pula memperhatikan persajakan-persajakan
sedemikian serasi untuk seluruh puisinya.Kenyataan demikian menjadikan
puisinya bersahut bunyi dan irama dalam desakan rindu menggebu sekalian
menggelora. “Dendang Sepotong Bulan”: melingkari tembang langit yang
membiru/ menjadi cuaca yang pecah menjadi dua/ sumbu/ saat purnama
mengkristal, membuka/ senyummu/ dan gerhana permata menghujani bumi/
dengan/ mutiara-mutiara di matamu//
Hidayat Jasn dengan puisinya “Lukisan Kaligrafi”, “Menebang Tebu”,
“Di Tengah Ladang”, dan “Pendongeng” yang dimuat Tanjungpinang Pos, 22
Juni 2014, juga dengan mahir, piawai dan asyik memungut dan merampai
apa-apa alam lingkungan sekitar menjadi selengkapnya kata-kata dan
kalimat puisinya.
Kejelian Hidayat Jasn boleh dikatakan sebagai satu di antara
kemampuannya di dalam mengangkat sesuatu di sekitarnya menjadi puisi
yang berseri.Lihatlah, bagaimana sebuah lukisan kaligrafi oleh Hidayat
dapat direnda dan dirangkai dalam bentuk kata-kata sehingga ianya
menjadi puisi. Sebuah lukisan kaligrafi terpasak di dinding/ Bidang
warna hijau ditingkah liukan huruf-huruf/ Arab yang merah. Mengungkap
limpahan/ Tak terhingga kasih-Nya atas semua ciptaan/ Yang melata di
punggung dunia//
Hidayat Jasn telah menyirikan kepenyairannya dari apa-apa sekitarnya,
fakta atau kejadian alam.Kesemuanya menggelung dan menggulung sempurna
dalam puisi-puisinya. Menebang Tebu: Siang digenani sengat cahaya
matahari/ Didorong-dorong angin kerontang/ Kita menebang tebu di tegalan
ini/ Baju-baju kita berkibaran// Kemudian puisi Di Tengah Ladang: //
Menugal tanah kering di bawah siraman/ Cahaya matahari, peluh
berlelehan/ Dan kulit pun melegam. Tapi dari situlah bisa/ Ia hayati
kebahagiaan sebagai peladang/ Hati selalu riang dan tergenang deraian
tawa//
Betapa pula Hidayat menampilkan kegembiraan yang tulus dan dalam
sehingga menjejak kalam-kalam puisinya.Puisi-puisi telah hadir sebagai
mengingatkan dan sekaligus mengajak untuk berdamai dengan situasi dan
kondisi yang bagaimanapun dengan akhir segalanya keluar dari
permasalahan dan pemenang.Bahwa kesepian, kepedihan dan penderitaan
sekalipun tidaklah lantas bermuara kepada luka, duka nestapa, melainkan
suka, ceria dan bahagia berlama.
Puisi terakhir bulan Juni adalah karya Hastami Cintya Luthfi, yakni
“Saung Penyair”, “Metamorfosis”, “Paragraf” dan “Kafka”. Nyatalah pula
bagaimana desakan alam lingkungan sekitar sehingga puisi-puisi Hastami
tumbuh merecup. Pehamannya akan fungsi kata, irama, puitika, persajakan
dan metafora dalam seluruh bangunan puisi, menjadikan puisinya mengena
dan berleka-leka nian pembaca dalam membacanya. Semakin dibaca seolah
tak kering dan merontakan jiwa.
Kafka: bersama tepis kepak, lamat-lamat/ hinggaplah di mkusim hangat,
bermigrasi/ menuju semi. saling mendahului melalui/ reranting yang
sibuk menyibak ranggas./ berderap sahut di atas kecipak air./ menyapa
angin dengan tarian-tarian/ kasatnya, kemudian mematuki remaham roti/
yang disebar oleh pagi./ maka apa yang disesalkan?/ ceracau polos tanpa
aksara—tanpa/ pelabelan nama menjalar dengan pelan, baik/ sepasang induk
atau susuannya menggiring/ menuju seceplok sarang di senja hari,/
mematahkan abstraksi.
Tutup Kalam
Puisi dapat menjadi bagian dari apa-apa alam lingkungan sekitar berbabit
sejarahnya, manusianya dan segala apapun yang berlaku. Puisi menjadi
ilustrasi atas apa yang telah berlaku bagi manusia dan alam lingkungan
sekitarnya. Puisi bukan sebagai kata-kata sekedar waktu ditulis, kini,
nanti sahaja, tetapi melampuawi itu semuanya! Puisi sebagai penyeru atas
segala apa-apa yang tak terkatakan dengan bahasa apapun.Puisi
menjadikan hidup dan alam lingkungan berseri dan surgawi, di dunia dan
menuju keabadian yang berkekelan. Maka puisi teruslah menjadi-jadi….! ***

Ulasan Puisi di Tanjungpinang Pos, 06 Juli 2014
Rabu, 06 Agustus 2014
Diposting oleh Verfasser at 06:47Malang Post, 8 Juni 2014 (CERPEN)
Diposting oleh Verfasser at 06:26
Selamat membaca, selamat mengkritik..
[Cerpen]
*HUJAN KOPI*
“Kemana dia?”
“Ada dikamar, Pak. Sedang tidur”
“Sudah berapa lama?”
“Empat hari, Pak”
***
--Tegukan Pertama
“Yah, minuman apa itu?”
“Ini namanya kopi, Nak. Dia adalah minuman yang menghidupimu. Memberimu ruang untuk berkhayal, berimajinasi atau menciptakan alur cerita baru di alam bawah sadarmu”
“Alam bawah sadar?”
“Ya, alam yang bergerak dengan sendirinya, tanpa diatur oleh indera yang lain. Kau akan menyadarinya ketika sudah dewasa. Ini bukan minuman biasa. Ayah mengembangkannya sudah 17 tahun. Dari remaja hingga sekarang ini. Minuman ini bisa membelikanmu apa saja. Mainan, baju dan juga napasmu”
“Kenapa dia jelek sekali? Berwarna hitam. Tidak secantik orange jus, minuman bersoda, dan sirup warna warni. Bahkan ia pahit setelah ku coba”
“Ada rahasia didalamnya. Kopi adalah kehidupan. Semakin kau mencoba. Semakin kau temukan sisi manisnya. Kau harus berani menganalisa. Hati – hati, bisa saja kau terjebak dengan arti yang kau simpulkan sendiri”
--Tegukan Kelima
Enak
Semakin enak.
Dan bahkan sangat enak. Aku mulai mengenalnya.
--Cangkir Ke Lima Puluh Dua
Perpaduan pelbagai kopi yang aku sesap. Mocha si kopi dengan lelehan cokelat, Capuccino Latte dengan krim lezat, si mahal Jamaican Blue Mountain coffee, Macchiato Hazelnut dan White Coffee dari sisa pencernaan luwak. Mulai kutinggalkan si kopi hitam. Aku terlalu takut untuk menghitam kemudian kelam. Ternyata sudah sejauh ini aku menikmatinya. Ia temanku. Temanku meremaja. Yang selalu ada untuk memenuhi ruang tenggorokanku. Rasanya segar.
Semakin kental, semakin membuatku melupakan keributan rumah. Entah apa itu pembagian harta gono – gini. Perebutan lahan, kemudian aksi saling tampar sudah terlalu sering memenuhi gendang telinga. Suasana memanas tiap harinya. Saling pinta hak asuh. Hey, aku sudah bukan nak – kanak lagi. Sedikit dengarkan aku. Aku suka sendirian, tapi tak suka kesepian.
--Gelas Ke Seratus Tujuh Puluh Lima
Aku mulai beralih. Dari cangkir ke gelas untuk lebih menikmatinya. Meracik bahan sendiri. Mudah sekali aku mendapatkan bahannya. Karena Ayahku adalah pemilik kebun kopi yang luasnya berhektar – hektar. Bisa dibayangkan kekayaannya? Hah! tapi sama saja jika ia sendiri tak paham makna kopi yang sebenarnya. Ia bilang pecinta kopi harus berani. Tapi apa yang ia buktikan? Berani berselingkuh? Berani mengkoleksi wanita – wanita yang berganti tiap harinya? Haha. Kebodohan oleh kekayaan.
Aku semakin gila oleh imajinasi yang ku hadirkan sendiri. Meminta hujan kopi. Pasti lebih segar dari apapun. Begitu pula aroma tanah yang tidak lagi klise akibat hujan biasa. Ah, bisakah? Tentu bisa. Ayahku kan kaya. Jangan iri! Selama ini aku jarang meminta hal besar seperti mobil, rumah, ataupun handphone merek terkenal. Memang semuanya sudah tersedia tanpa aku harus meminta. Nah, apa yang belum ku dapat? Perhatian. Ah sudahlah, lupakan masalah itu. Aku hanya ingin hujan kopi! Meski tak dari alam, tapi masih ada buatan kan?
--Hujan Kopi
Akhirnya jadi juga sesuai permintaanku. Aku tak tahu keberadaan Ayah, sehingga aku hanya perlu menelepon Ayah untuk membuatkan hujan buatan, lalu ia segera memberikan perintah kepada bawahannya. Ayah paham bahwa aku adalah anak yang gila kopi. Ah, itu akibat dari pengenalan kopi padaku sejak kecil. Aku rasa Ayah sudah sangat bangga karena ia bisa memenuhi keinginan anaknya secara materi. Terbukti ia selalu berkata “Hanya itu permintaanmu?” setiap kali aku meminta hal yang menurutnya kecil dan sederhana.
Kembali ke masalah hujan kopi. Tempatnya sudah jadi tiga bulan semenjak permintaanku. Terbuat dari kaca setengah lingkaran. Mirip dengan bentuk penangkaran tanaman yang sering aku lihat di film – film luar negeri. Di desain semenarik mungkin. Knock pintunya bisa diputar dengan mudah, dibeberapa sisi atas sudah dipasangi beberapa ventilasi untuk bernafas. Sudah ada mesin pengatur yang terdapat di sisi kanan ruangan. Bentuknya kotak sekitar 4 meter. Di dalamnya terdapat kopi yang dimasak pada suhu tertentu. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Hangat. Dari atas sudah dipasangi selang yang mirip shower untuk menyiramkan hujan kopi. Bagian lantainya juga sudah ada jalur – jalur resapan. Tak cukup itu, di beberapa tempat di pasang shelter – shelter untuk berteduh, sehingga cukup mengacungkan cangkir didepan shelter maka dengan sendirinya ia terisi oleh rintik – rintik kopi. Ah, beginilah surga bagi pecinta kopi.
Hanya tinggal memencet tombol berwarna hijau maka hujan akan tiba.
Aku seringkali terduduk disini sambil membiarkan hidungku menciumi aroma legit sang kopi. Aku juga suka membawa makanan kecil dari dapur, agar lambungku tak melulu mencerna soal kopi. Tapi karena semua ini, aku jadi enggan menyentuh nasi yang sudah menjadi makanan pokok sehari – hari. Rasanya, setiap hari perutku sudah kenyang dengan mudahnya usai mencecap kopi, darah berdesir – desir, jantung berdetak kencang. Ditambah lagi usai melihat “dia” yang muncul di depan gerbang rumahku.
Namanya Ariyanti. Rambutnya keriting alami, namun justru itulah yang membuatnya terlihat anggun dan cantik, seperti puteri – puteri zaman dulu. Ia teman kampusku di jurusan Komunikasi. Meski begitu, aku belum pernah sekalipun berani mengajaknya berbicara selama di kelas. Ternyata perasaan yang aneh ini bisa menyulitkan seseorang untuk berkomunikasi, hal yang tak kutemukan di pelajaran. Setidaknya, ia berani mengawali dengan mendatangi rumahku. Mungkin dia penasaran denganku karena kulihat dia datang ke rumahku dengan membawa sekeranjang buah – buahan. Apa dia mau menyapaku lebih dulu? gumamku heran. Yang pasti, aku harus mengajaknya berbicara kali ini diruang hujan kopi, tekadku.
“Hai” sapaku kaku, seusai keluar dari ruang tempat hujan kopi. Dia terlihat terkejut, namun dia tetap membalas sapaanku “Hai juga”. Aku begitu gugup, terlebih ketika aku menyaksikan lesung pipitnya begitu manis melekat dipipinya. “Dari rumah, ya? Mau kutunjukan suatu tempat? tanyaku kebingungan mencari lanjutan percakapan. Ia terlihat celingukan mencari sesuatu, namun aku tak mempedulikannya. Aku mencoba menggandeng tangannya dan membawanya ke ruang hujan kopi. Ariyanti tampak kebingungan namun ia tetap mengekor dibelakangku.
Kami terdiam cukup lama ditengah rintik kopi yang baru saja aku nyalakan. “Hujan kopi, aku baru menyaksikan kali ini. Baunya unik” pernyataan Ariyanti yang tiba – tiba memecah pola suara gerimis. “Kamu suka?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. “Aku baru tau kalau ini rumahmu. Cukup mengejutkan”
“Maksudmu?” aku heran, ku kira dia disini mau menemuiku. Ia hanya diam saja sambil meremas tangannya. “Kamu insomnia?” cecar Ariyanti mengalihkan pertanyaanku. “Ya, begitulah. Aku jarang tidur sampai beberapa hari”
“Kurangi kebiasaan minum kopi, aku tahu ayahmu mempunyai banyak stok kopi yang bisa kamu nikmati, tapi ini tidak baik untuk kesehatanmu” Ariyanti lalu beranjak dari tempat duduknya di shelter. “Tolong matikan hujannya” tambahnya lagi. “Mau kemana?” tanyaku sambil mematikan hujannya dengan tombol merah.
Ariyanti hanya tersenyum. Kemudian ia berlari – lari kecil mendekati pintu ruangan. Dan ia membalas lambaian tangan seseorang yang menanti diluar. Ayah.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ayah dan Ariyanti berpelukan. Ayah juga mengecup pipi Ariyanti dengan bibir kehitamannya. Mereka berdua pergi begitu saja dengan acuh. Aku hampir tak percaya jika Ariyanti salah satu “wanita” Ayah.
Lengkap sekali sekarang, perutku rasanya mual, lidahku terasa pahit karena ada cairan kuning yang memaksa keluar. Seandainya aku bisa mendelete adegan barusan. Seandainya aku tidak mengidap insomnia. Argh! Biarkan aku tidur berhari – hari, kopi!
***
Oleh :
Hastami Cintya Luthfi
[Cerpen]
*HUJAN KOPI*
“Kemana dia?”
“Ada dikamar, Pak. Sedang tidur”
“Sudah berapa lama?”
“Empat hari, Pak”
***
--Tegukan Pertama
“Yah, minuman apa itu?”
“Ini namanya kopi, Nak. Dia adalah minuman yang menghidupimu. Memberimu ruang untuk berkhayal, berimajinasi atau menciptakan alur cerita baru di alam bawah sadarmu”
“Alam bawah sadar?”
“Ya, alam yang bergerak dengan sendirinya, tanpa diatur oleh indera yang lain. Kau akan menyadarinya ketika sudah dewasa. Ini bukan minuman biasa. Ayah mengembangkannya sudah 17 tahun. Dari remaja hingga sekarang ini. Minuman ini bisa membelikanmu apa saja. Mainan, baju dan juga napasmu”
“Kenapa dia jelek sekali? Berwarna hitam. Tidak secantik orange jus, minuman bersoda, dan sirup warna warni. Bahkan ia pahit setelah ku coba”
“Ada rahasia didalamnya. Kopi adalah kehidupan. Semakin kau mencoba. Semakin kau temukan sisi manisnya. Kau harus berani menganalisa. Hati – hati, bisa saja kau terjebak dengan arti yang kau simpulkan sendiri”
--Tegukan Kelima
Enak
Semakin enak.
Dan bahkan sangat enak. Aku mulai mengenalnya.
--Cangkir Ke Lima Puluh Dua
Perpaduan pelbagai kopi yang aku sesap. Mocha si kopi dengan lelehan cokelat, Capuccino Latte dengan krim lezat, si mahal Jamaican Blue Mountain coffee, Macchiato Hazelnut dan White Coffee dari sisa pencernaan luwak. Mulai kutinggalkan si kopi hitam. Aku terlalu takut untuk menghitam kemudian kelam. Ternyata sudah sejauh ini aku menikmatinya. Ia temanku. Temanku meremaja. Yang selalu ada untuk memenuhi ruang tenggorokanku. Rasanya segar.
Semakin kental, semakin membuatku melupakan keributan rumah. Entah apa itu pembagian harta gono – gini. Perebutan lahan, kemudian aksi saling tampar sudah terlalu sering memenuhi gendang telinga. Suasana memanas tiap harinya. Saling pinta hak asuh. Hey, aku sudah bukan nak – kanak lagi. Sedikit dengarkan aku. Aku suka sendirian, tapi tak suka kesepian.
--Gelas Ke Seratus Tujuh Puluh Lima
Aku mulai beralih. Dari cangkir ke gelas untuk lebih menikmatinya. Meracik bahan sendiri. Mudah sekali aku mendapatkan bahannya. Karena Ayahku adalah pemilik kebun kopi yang luasnya berhektar – hektar. Bisa dibayangkan kekayaannya? Hah! tapi sama saja jika ia sendiri tak paham makna kopi yang sebenarnya. Ia bilang pecinta kopi harus berani. Tapi apa yang ia buktikan? Berani berselingkuh? Berani mengkoleksi wanita – wanita yang berganti tiap harinya? Haha. Kebodohan oleh kekayaan.
Aku semakin gila oleh imajinasi yang ku hadirkan sendiri. Meminta hujan kopi. Pasti lebih segar dari apapun. Begitu pula aroma tanah yang tidak lagi klise akibat hujan biasa. Ah, bisakah? Tentu bisa. Ayahku kan kaya. Jangan iri! Selama ini aku jarang meminta hal besar seperti mobil, rumah, ataupun handphone merek terkenal. Memang semuanya sudah tersedia tanpa aku harus meminta. Nah, apa yang belum ku dapat? Perhatian. Ah sudahlah, lupakan masalah itu. Aku hanya ingin hujan kopi! Meski tak dari alam, tapi masih ada buatan kan?
--Hujan Kopi
Akhirnya jadi juga sesuai permintaanku. Aku tak tahu keberadaan Ayah, sehingga aku hanya perlu menelepon Ayah untuk membuatkan hujan buatan, lalu ia segera memberikan perintah kepada bawahannya. Ayah paham bahwa aku adalah anak yang gila kopi. Ah, itu akibat dari pengenalan kopi padaku sejak kecil. Aku rasa Ayah sudah sangat bangga karena ia bisa memenuhi keinginan anaknya secara materi. Terbukti ia selalu berkata “Hanya itu permintaanmu?” setiap kali aku meminta hal yang menurutnya kecil dan sederhana.
Kembali ke masalah hujan kopi. Tempatnya sudah jadi tiga bulan semenjak permintaanku. Terbuat dari kaca setengah lingkaran. Mirip dengan bentuk penangkaran tanaman yang sering aku lihat di film – film luar negeri. Di desain semenarik mungkin. Knock pintunya bisa diputar dengan mudah, dibeberapa sisi atas sudah dipasangi beberapa ventilasi untuk bernafas. Sudah ada mesin pengatur yang terdapat di sisi kanan ruangan. Bentuknya kotak sekitar 4 meter. Di dalamnya terdapat kopi yang dimasak pada suhu tertentu. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Hangat. Dari atas sudah dipasangi selang yang mirip shower untuk menyiramkan hujan kopi. Bagian lantainya juga sudah ada jalur – jalur resapan. Tak cukup itu, di beberapa tempat di pasang shelter – shelter untuk berteduh, sehingga cukup mengacungkan cangkir didepan shelter maka dengan sendirinya ia terisi oleh rintik – rintik kopi. Ah, beginilah surga bagi pecinta kopi.
Hanya tinggal memencet tombol berwarna hijau maka hujan akan tiba.
Aku seringkali terduduk disini sambil membiarkan hidungku menciumi aroma legit sang kopi. Aku juga suka membawa makanan kecil dari dapur, agar lambungku tak melulu mencerna soal kopi. Tapi karena semua ini, aku jadi enggan menyentuh nasi yang sudah menjadi makanan pokok sehari – hari. Rasanya, setiap hari perutku sudah kenyang dengan mudahnya usai mencecap kopi, darah berdesir – desir, jantung berdetak kencang. Ditambah lagi usai melihat “dia” yang muncul di depan gerbang rumahku.
Namanya Ariyanti. Rambutnya keriting alami, namun justru itulah yang membuatnya terlihat anggun dan cantik, seperti puteri – puteri zaman dulu. Ia teman kampusku di jurusan Komunikasi. Meski begitu, aku belum pernah sekalipun berani mengajaknya berbicara selama di kelas. Ternyata perasaan yang aneh ini bisa menyulitkan seseorang untuk berkomunikasi, hal yang tak kutemukan di pelajaran. Setidaknya, ia berani mengawali dengan mendatangi rumahku. Mungkin dia penasaran denganku karena kulihat dia datang ke rumahku dengan membawa sekeranjang buah – buahan. Apa dia mau menyapaku lebih dulu? gumamku heran. Yang pasti, aku harus mengajaknya berbicara kali ini diruang hujan kopi, tekadku.
“Hai” sapaku kaku, seusai keluar dari ruang tempat hujan kopi. Dia terlihat terkejut, namun dia tetap membalas sapaanku “Hai juga”. Aku begitu gugup, terlebih ketika aku menyaksikan lesung pipitnya begitu manis melekat dipipinya. “Dari rumah, ya? Mau kutunjukan suatu tempat? tanyaku kebingungan mencari lanjutan percakapan. Ia terlihat celingukan mencari sesuatu, namun aku tak mempedulikannya. Aku mencoba menggandeng tangannya dan membawanya ke ruang hujan kopi. Ariyanti tampak kebingungan namun ia tetap mengekor dibelakangku.
Kami terdiam cukup lama ditengah rintik kopi yang baru saja aku nyalakan. “Hujan kopi, aku baru menyaksikan kali ini. Baunya unik” pernyataan Ariyanti yang tiba – tiba memecah pola suara gerimis. “Kamu suka?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. “Aku baru tau kalau ini rumahmu. Cukup mengejutkan”
“Maksudmu?” aku heran, ku kira dia disini mau menemuiku. Ia hanya diam saja sambil meremas tangannya. “Kamu insomnia?” cecar Ariyanti mengalihkan pertanyaanku. “Ya, begitulah. Aku jarang tidur sampai beberapa hari”
“Kurangi kebiasaan minum kopi, aku tahu ayahmu mempunyai banyak stok kopi yang bisa kamu nikmati, tapi ini tidak baik untuk kesehatanmu” Ariyanti lalu beranjak dari tempat duduknya di shelter. “Tolong matikan hujannya” tambahnya lagi. “Mau kemana?” tanyaku sambil mematikan hujannya dengan tombol merah.
Ariyanti hanya tersenyum. Kemudian ia berlari – lari kecil mendekati pintu ruangan. Dan ia membalas lambaian tangan seseorang yang menanti diluar. Ayah.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ayah dan Ariyanti berpelukan. Ayah juga mengecup pipi Ariyanti dengan bibir kehitamannya. Mereka berdua pergi begitu saja dengan acuh. Aku hampir tak percaya jika Ariyanti salah satu “wanita” Ayah.
Lengkap sekali sekarang, perutku rasanya mual, lidahku terasa pahit karena ada cairan kuning yang memaksa keluar. Seandainya aku bisa mendelete adegan barusan. Seandainya aku tidak mengidap insomnia. Argh! Biarkan aku tidur berhari – hari, kopi!
***
Oleh :
Hastami Cintya Luthfi
Langganan:
Postingan (Atom)
Don't forget to leave comment :)