19
Januari 2012,
Gerimis
memucat dan menghampiri daun – daun berdiksi ke(mati)an.
Nuansa selaksa mengoar
aroma mahsyar. Meringkuk dalam lubang yang telah tergali
oleh ruas jari. Langit
berubah langsat. Pucuk – pucuk peraduan yang menyusun
satuan nisan. Teraut
serupa tampang memelas menanya nafas ceria. Bersandar pada
dinding dunia namun
merapuh. Segaris cahaya tersemat pada bilik duka. Hingga wanita muda berteriak “anakkuuu!”
Termaktub bulir air yang mengaca, sejenak meredam sajak euforia.
Ibunya berharap dia
tertidur oleh suri. Namun anak itu hanya terbujur kaku dan terlucuti dalam
rebah. Melengkinglah pada si keriput tua. “Kau apakan anakku? Terseduh sesal
menyeruak karna telah kutitipkan buah cintaku padamu!”
Berbelas rasa menyuap
kronologi yang meronta – ronta,inilah fakta:
Menghindar
Terlempar
Terkapar
Menyusup
hingar
Berbau
bangar
Dalam nada ke 420 semua
filosofi ironi terhenti.
18
Januari 2012,
Kau
hidup! Semua masih menyapamu…
Gadis
manis, lesung pipimu telah menebar aroma pias. Senyummu memoles senja dengan
pulas – pulas yang kau bawa. Angin menari – nari di sekelilingmu. Membisik
diantara celah rambutmu yang mengakar ; penuhi rindu. Kiasan matamu beradu
dengan waktu. Masih sempat lentik jemarimu mengetik “sedang apa sayang?”
Oh, ternyata dia
pacarmu. Yang pingsan esok harinya sambil mendekap boneka baru untukmu
Ngawi,
04-02-2012
.
0 komentar:
Posting Komentar