PUISI

Sabtu, 01 September 2012




DIKSI KEMATIAN

19 Januari 2012,
Gerimis memucat dan menghampiri daun – daun berdiksi ke(mati)an.
Nuansa selaksa mengoar aroma mahsyar. Meringkuk dalam lubang yang telah tergali
oleh ruas jari. Langit berubah langsat. Pucuk – pucuk peraduan yang menyusun
satuan nisan. Teraut serupa tampang memelas menanya nafas ceria. Bersandar pada
dinding dunia namun merapuh. Segaris cahaya tersemat pada bilik duka. Hingga wanita muda berteriak “anakkuuu!” Termaktub bulir air yang mengaca, sejenak meredam sajak euforia.
Ibunya berharap dia tertidur oleh suri. Namun anak itu hanya terbujur kaku dan terlucuti dalam rebah. Melengkinglah pada si keriput tua. “Kau apakan anakku? Terseduh sesal menyeruak karna telah kutitipkan buah cintaku padamu!”
Berbelas rasa menyuap kronologi yang meronta – ronta,inilah fakta:
                        Menghindar
                                    Terlempar
                                                Terkapar
                                                            Menyusup hingar
                                                                        Berbau bangar
Dalam nada ke 420 semua filosofi ironi terhenti.

18 Januari 2012,
Kau hidup! Semua masih menyapamu…
Gadis manis, lesung pipimu telah menebar aroma pias. Senyummu memoles senja dengan pulas – pulas yang kau bawa. Angin menari – nari di sekelilingmu. Membisik diantara celah rambutmu yang mengakar ; penuhi rindu. Kiasan matamu beradu dengan waktu. Masih sempat lentik jemarimu mengetik “sedang apa sayang?”
Oh, ternyata dia pacarmu. Yang pingsan esok harinya sambil mendekap boneka baru untukmu

Ngawi, 04-02-2012
.

0 komentar:

Don't forget to leave comment :)